wahai kau yang slalu ada dalam mimpiku
yang slalu ada dalam imaji ku yang tak nyata
aku mungkin menunggumu di persimpangan jalan
slalu menunggu dengan harap yang tak pasti
mungkinkah kau akan datang lewat persampingan itu dan bertemu denganku ?
ataukah kau tak akan dan selamanya pun tak akan pernah melewati persimpangan itu?
jika benar itu takdirmu
aku tak oerduli
aku tak perduli walau kau melewati jalan lain dan tak bertemu denganku yang menunggumu di persimpangan itu
aku tak peduli
aku akan tetap menunggumu sampai bosan datang menjemputku
aah entahlah sepertinya bosan itu tak akan menemuiku lagi
ia sudah jengan bertemu denganku
kini hanya takdir yang dapat mempertemukan kita
aku harap dan akan terus berharap
kau melewati persimpangan itu dan menemuiku
persimpangan tempat aku menunggu dirimu
hingga akhirnya kita bisa bertemu saling melepas rindu dan lelah
lalu bersama merajut impian yang tak segera usai
seorang wanita yang mempunyai mimpi menjadi penulis fiksi, suka traveling, kuliner juga mencari inspirasi di tempat yang belum banyak dikunjungi orang. Jangan lupakan greentea atau hot chocolate :) welcome to my world, saya harap kalian suka dengan apa yang saya tulis
JNGGA
Selasa, 15 Oktober 2013
kekasihku (dalam untaian doa dan nada)
wahai kekasihku
kita berdua bagai berada dalam imaji yang nyata
aku ada dan kau pun ada
tapi di antara kita terdapat satu tembok penghalang yang menjulang tinggi.
mengapa ini terjadi sayang?
aku tak mengerti, aku mencintaimu ya aku benar-benar mencintaimu
tapi apa yang kau rasakan?
cinta ini bagai bertepuk sebelah tangan .
sayang, jika langit tak mampu lagi menampakan bintang maka lebih baik bintang itu tak usah ada selamanya
apakah itu berlaku jga untukku sayang?
sayang, harus dengan cara apa aku membuktikan bahwa aku mencintaimu dan sungguh sungguh terhadapmu?
sayang, tolonglah kita ini berada dalam satu bingkai, berada dalam satu tubuh dan juga dalam satu cerita
buatlah cerita itu utuh sayang jangan biarkan tembok yang tinggi menghalangi kita untuk merangkai cerita indah untuk anak cucu kita kelak
laksana air yang mengalir di bukit aku harap kamu dapat berubah ,
memberi tingkah laku yang manis layaknya pangeran yang menjemput sang permaisuri
kita berdua bagai berada dalam imaji yang nyata
aku ada dan kau pun ada
tapi di antara kita terdapat satu tembok penghalang yang menjulang tinggi.
mengapa ini terjadi sayang?
aku tak mengerti, aku mencintaimu ya aku benar-benar mencintaimu
tapi apa yang kau rasakan?
cinta ini bagai bertepuk sebelah tangan .
sayang, jika langit tak mampu lagi menampakan bintang maka lebih baik bintang itu tak usah ada selamanya
apakah itu berlaku jga untukku sayang?
sayang, harus dengan cara apa aku membuktikan bahwa aku mencintaimu dan sungguh sungguh terhadapmu?
sayang, tolonglah kita ini berada dalam satu bingkai, berada dalam satu tubuh dan juga dalam satu cerita
buatlah cerita itu utuh sayang jangan biarkan tembok yang tinggi menghalangi kita untuk merangkai cerita indah untuk anak cucu kita kelak
laksana air yang mengalir di bukit aku harap kamu dapat berubah ,
memberi tingkah laku yang manis layaknya pangeran yang menjemput sang permaisuri
Senin, 14 Oktober 2013
KETIKA SANG JINGGA PERGI
Waiting for your call, I'm sick, call I'm angry
call I'm desperate for your voice
Listening to the song we used to sing
In the car, do you remember
Butterfly, Early Summer
It's playing on repeat, Just like when we would meet
Like when we would meet
Cause I was born to tell you I love you
and I am torn to do what I have to, to make you mine
Stay with me tonight .
Perlahan musik awal itu
mengalun lembut di telingaku, membawaku akan kenangan indah di masa lalu.
Jingga. Seseorang yang selama ini ku tunggu dan kunanti kedatangannya saat
matahari terbenam. Di sisi laut dan menghadap ke barat, ku duduk terdiam sambil
mendengarkan lagu itu. Berharap akan kedatangannya dari arah barat dan
menarikku ke dalam pelukannya. Melepaskan rasa rindu dan haru bersama di tengah
indahnya semburan langit jingga yang menghias langit barat.
***
"Jingga? Jingga
mana?" Tanyaku pada Bisma ketika dia selesai berbicara.
"Itu temanku yang
tempo hari aku ceritakan." Jawabnya santai.
"Oh yang orangnya
kocak itu?"
"Iya."
"Ih namanya aneh
seperti perempuan." Ucapku kemudian.
Kocak. Satu kata itulah
yang membuatku menjadi sangat menyukainya. Aku ingat betul ketika pertama kali
dia menghubungiku. Pada awal nya aku tak mempunyai perasaan apapun terhadapnya.
Tak sedikitpun aku menaruh hati padanya. Tak jarang pula aku tak membalas pesan
singkat yang dia berikan padaku. Entah mengapa dulu aku sangat enggan untuk
berhubungan dengannya, mungkin karena dulu aku masih mempunyai seorang kekasih
bernama Tama. Aku sangat ingat ketika Bisma, saudaraku berkata bahwa Jingga
terlihat kesal karena aku jarang membalas pesan singkat yang dia berikan.
Bukannya aku tak ingin untuk membalas pesan singkatnya tetapi karena memang pesan-pesan
yang masuk ke dalam handphone ku memang jenis pesan yang tidak menghendaki
jawaban. Beberapa bulan setelah itu aku dan Jingga hampir tidak pernah
berkomunikasi lagi. Hingga pada suatu malam saat hubunganku dan Tama berakhir,
dia kembali mengirimi aku satu pesan singkat. Sebuah kata-kata cinta dengan
berhasil masuk ke dalam handphoneku. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu,
sambil menangis ku gerakan jari jemariku di atas keyword handphone. Tak lama
kemudian handphone ku berbunyi pertanda ada pesan masuk. Kembali Jingga
membalas pesanku dengan kata-kata yang tak menghendaki jawaban. Aku pun
membiarkannya dan melanjutkan menangis. Aku ingat betul saat itu. Pada puku
21.00 handphone ku kembali berbunyi tetapi kali ini bukan pertanda ada pesan masuk
melainkan telepon. Aku sangat ingat akan pembicaraan aku dengannya dulu. Dia
hadir sebagai penghibur bagiku. Dan saat itu pula dia menyanyikan lagu itu
dengan petikan gitar yang indah. Aku juga ingat saat itu dia menawari aku untuk
bercerita padanya, tetapi aku menolak. Malam itu aku dan dia berbicara sampai
larut, apapun yang ada di pikiran aku dan dia pasti diutarakan. Kedekatan aku
dan Jingga pun berlanjut sampai akhirnya aku sadar bahwa aku menaruh hati
padanya. Jingga. Sosok orang yang apa adanya. Dia tak segan-segan untuk
memperlihatkan sifat buruknya padaku. Sifat yang seharusnya membuatku menjadi
membenci atau tidak menyukainya. Tetapi justru sebaliknya. Aku menjadi begitu
menyukainya. Aku suka dengan sifatnya yang apa adanya dan tak jarang membuatku
tertawa. Hingga pada akhirnya saat itu datang. Saat Jingga datang dengan wajah
kelam, lalu menghampiriku.
"Ada yang harus
kubicarakan." Ucapnya dengan murung.
"Ada apa Ga?" Tanyaku
heran.
"Arlin, aku harus
pergi sore ini juga. Aku akan bertugas di Eropa selama 1 tahun. Dan selama itu
kita tidak akan bertemu." Ucapnya dengan penuh rasa khawatir. Aku masih
shock dengan kabar itu, sehingga aku hanya bisa terdiam dan membisu
dihadapannya.
"Kau.. Bisa menunggu
ku sampai nanti aku kembali?" Tanyanya dengan nada yang sarat
kekhawatiran. Aku pun hanya tertunduk lalu mengangguk perlahan.
"Baiklah, aku percaya
padamu Lin. Tunggulah aku di langit barat ketika matahari mulai terbenam, maka
aku akan datang dan memelukmu dengan segenap jiwa dan raga."
Perasaanku sungguh
berkecamuk saat itu. Sungguh sulit ku percaya bahwa hubunganku dengannya harus
berakhir bahkan sebelum dimulai. Lalu dia mengulurkan tangannya dan merengkuhku
ke dalam pelukannya. Pelukan yang hangat dan menenangkan. Sejak saat itu dia
mulai pergi dan aku mulai menunggu pada saat matahari terbenam.
***
Entah sudah ke berapa
matahari terbenam yang ku lalui. Sejak saat itu aku mulai menunggu, menunggu
dan terus menunggu sampai Jingga benar-benar datang dari langit yang berwarna
jingga. Aku tak pernah bosan untuk terus menunggunya. Aku tak pernah lelah
untuk menunggu sang jingga datang. Aku tak sabar untuk melihat wajah cerahnya yang
ditimpa sinar matahari sore. Dia akan terlihat lebih tampan dari biasanya. Aku
pun tak sabar untuk bernyanyi dan tertawa bersama kembali. Melanjutkan hubungan
aku dan dia yang sempat tertunda. Jinggaku yang ku tunggu, entah kapan dia akan
kembali, dan entah keberapa jingga yang harus kulalui. Mungkinkah esok, lusa
atau seterusnya. Atau mungkin Jinggaku tak akan pernah kembali, terbenam
bersama matahari jingga dan tak akan pernah terbit kembali selama-lamanya.
TAMAT
Minggu, 13 Oktober 2013
untukmu seseorang dalam imaji
aku tak mengerti mengapa kita harus bertemu
kita bertemu dalam dua bingkai yang berbeda
aku mengenalmu sedangkan kau tak mengenalku
aku tak habis pikir mengapa kita bertemu dan Tuhan menciptakan rasa dalam diriku untuk dirimu yang tak biasa
rasa yang membuatku bergetar dan selalu di selimuti rasa rindu
mengapa ini terjadi?
kita tak saling mengenal sebelumnya
namun rasa apa ini?
kadang kala
ketika malam datang menjemput aku selalu berfikir
apakah kau merasa hal yang sama terhadapku?
mungkinkah Tuhan mempertemukan kita karna ada maksud lain?
tak ada yang mustahil di dunia ini
aku tau itu
tapi terkadang semua kenyataan tak masuk dalam logika
mungkin kau tak akan masuk ke dalam logika kukau hanyak ada dalam imaji
kau nyata tapi tak untuk menjadi kenyataan
mungkin kau hanya akan hidup dalam imajiku
dari imaji dan selamanya hanya dalam imaji
kita bertemu dalam dua bingkai yang berbeda
aku mengenalmu sedangkan kau tak mengenalku
aku tak habis pikir mengapa kita bertemu dan Tuhan menciptakan rasa dalam diriku untuk dirimu yang tak biasa
rasa yang membuatku bergetar dan selalu di selimuti rasa rindu
mengapa ini terjadi?
kita tak saling mengenal sebelumnya
namun rasa apa ini?
kadang kala
ketika malam datang menjemput aku selalu berfikir
apakah kau merasa hal yang sama terhadapku?
mungkinkah Tuhan mempertemukan kita karna ada maksud lain?
tak ada yang mustahil di dunia ini
aku tau itu
tapi terkadang semua kenyataan tak masuk dalam logika
mungkin kau tak akan masuk ke dalam logika kukau hanyak ada dalam imaji
kau nyata tapi tak untuk menjadi kenyataan
mungkin kau hanya akan hidup dalam imajiku
dari imaji dan selamanya hanya dalam imaji
BALUKAR
Déwi diuk gigireun kasur bari nyekel salembar
kertas. Kertas anu eusina sajak, paméré ti Dédén jaman keur bobogohan kénéh.
Seuri. Manéhna rada seuri sanggeus maca éta sajak. Inget kanu méré éta sajak
baheula. Katempo pisan nyaahna Dédén harita, karasa ku manéhna ogé nyaah pisan.
Béda kawas ayeuna. Béda jauh pisan. Déwi neuteup Dédén nu keur diuk
hareupeunana. Nu diteuteup kadon tungkul ninggalikeun indung suku anu napak
kana ubin.
***
CINTA
Cinta lir ibarat kalangkang
Deukeut anggang bisa di atur ku urang
Cinta bisa ilang jeung némbongan
Repok jodo ahirna datang sorangan
Aduh-aduh cinta, aduh aduh cinta
Cinta panjang lalakonna
Cinta lir ibarat nu geulis
Gerak éndah ginulur séwu mamanis
Cinta perlu jalan anu luwes
Salogoto kapakan diacam putus
Aduh-aduh cinta, aduh-aduh cinta
Cinta perlu kasadaran
Cinta datang teu karasa
Gandrung liwung mihareup nu kapiati
Cinta matak anteng beurang peuting
Ngadak-ngadak dunya asa nu sorangan
Aduh-aduh cinta, aduh-aduh cinta
Cinta mangkak ligar éndah
Aduh-aduh cinta, aduh-aduh cinta
Cinta kembangna kanyaah.
Dédén cinta Déwi
..Dédén..
Déwi neuteup éta sajak,
tarangna kerung bari nyekel sagagang mawar beureum, tuluy ngarérét ka jalma anu
keus saré dina korsi téras. Dédén kabogohna. Manéhna nyampeurkeun nu keur
nyangsaya dina korsi. Lalaunan dideukeutan. Manéhna rada dongko, ngasajajarkeun
hulu manéhna jeung Dédén. Déwi neuteup bari imut. Merhatikeun guratan kana
guratan raray Dédén. Bet kaciri pisan yén Dédén téh nungguan manéhna balik lila
pisan. Meni ngaguher saréna gé. Capéeun sigana. Teu lila nu diteuteup beunta.
Panonna kekerejepan dibelél-belél. Samar-samar kaciri aya nu neuteup bari imut.
Déwi kabogohna. Déwi tuluy diuk gigireunana.
"Tos lami ngantosan,
Kang?" Pokna.
"Euh tos 2 taun ti
tatadi, meni lami diantosan téh atuh, Néng. Ti mana heula? Jadi wéh akang
mondok di dieu, teu kiat tuda tunduh. Badé wangsul tapi da sono hoyong
pendak."
"Nya hapunten, Kang da
Déwi teu terang akang badé ka dieu. Ieu milarian diktat kanggo pagéto. Teu
nelepon heula da terang pasti nuju sibuk." Ceuk Déwi.
"Ieu ti akang?" Pokna
deui bari ngasongkeun kembang mawar jeung sajakna.
"Sumuhun geulis,
sajakna saé, nya?" Ceuk Dédén bari nyéréngéh.
"Hm, saé Kang, tapi
naha éta sajak téh kecap-kecapna asa siga rumpaka lagu nya?" Ceuk Déwi
bari kerung. Dédén seuri ngagikgik tuluy ngawalon.
"Nya émang éta rumpaka
lagu, Néng."
"Ih, akang mah sugan
téh sajak nyaanan." Ceuk Déwi bari nyiwit laun leungeun Dédén.
"Eh atuh néng pan
akang teu tiasa ngadamel sajak, tapi akang téh hoyong masihan sajak ka Déwi nya
atos wéh akang pasihan rumpaka lagu méh katinggal romantis." Ceuk Dédén
bari nyéréngéh deui. Déwi seuri deui bari neuteup Dédén nu keur imut. Bet meni
asa sukur pisan 2 minggu manéhna rék nikah jeung Dédén. Asa bungah pisan sakeudeung
deui manéhna bakal jadi pamajikan Dédén.
***
Déwi masih diuk gigireun
kasur. Ngahuleng. Loba teuing anu geus kaalaman ku manéhanana. Dédén masih diuk
hareupeun Déwi, masih tungkul. Bingung naon anu kudu ku manéhna dipilampah.
Duanana cicing, euweuh anu ngaluarkeun sora. Sepi. Sepi kawas di kuburan.
Euweuh anu daék mimiti ngomong, mimiti ngaluarkeun sora.
"Kang, urang atosan
wéh atuh nya?" Déwi ngamimitian muka sora bari ngahuleng nempo kaluar
jandela. Dédén reuwas ku omongan Déwi, manéhna tanggah. Kaciri pisan reuwasna.
"Maksadna naon, Néng?
Akang teu ngartos." Walon Dédén peura.
"Urang hirup
sasarengan dugi kadieu wéh Kang. Ayeuna mah urang jalanan hirup masing-masing
wéh. Papirak." Témbal Déwi masih keneh ngahuleng bari ninggali kaluar
jandéla.
"Enéng nyuhunkeun ceré
ka akang? Ku naon Néng? Naha ujug-ujug kieu? Cik-cik urang badami nu leres.”
Déwi ngarénghap beurat.
"Kang.. Akang masih
nyimpen rasa ka Nanda, pan? Mantan kabogoh akang saacan Déwi. Déwi terang éta
kang terang pisan. Da karaos ku Déwi gé sikep akang ka Déwi saréng sikep akang
ka Nanda benten pisan. Déwi mah alim wéh pami ieu diteraskeun akang jadi teu
bagja. Teu bingah. Mangga wéh ayeuna mah cerékeun Enéng akang uihan deui sareng
Nanda. Enéng rido kang, ikhlas lilahi ta'ala." Omong Déwi. Dédén ngarandeg.
Cicing. Soak. Reuwas ka nu bieu diomongkeun ku Déwi. Manéhna ngarénghap, tuluy
nyarita.
"Hapunten pisan néng
sateuacana, tapi anu bieu dicarioskeun Enéng émang leres. Teu salah. Akang
émang masih nyimpen rasa ka Nanda." Pokna. Tuluy cicing. Ngarénghap. Deg.
Déwi ngarandeg. Asa nyeri kana nu bieu manéhna déngé. Nyeri pisan nurih kana
ati.
"Terang akang gé
terang pisan ieu salah. Akang atos nganyenyeri enéng. Tapi jujur, akang ogé
nyaah ka enéng. Akang teu sudi mun kudu nalak enéng mah." Sambungna deui.
"Nya terus ayeuna
hoyongna akang kumaha atuh sok?"
"Beréskeun sacara kakulawargaan
Néng. Urang beréskeun lalaunan, tong rurusuhan da akang gé butuh waktos!"
"Nya atos ari kitu mah
Kang, sok akang pikirkeun nu leres badé kumaha. Déwi moal ngawagel. Wayahna
ayeuna akang nyalira heula, Déwi badé wangsul wéh ka mamah sareng papap. Tong
nyusul Déwi saacan mendak kaputusan." Omong Déwi bari mérésan baju kana
koper. Tuluy indit ka luar. Dédén ngan bisa ngahuleng masih diuk dina korsi nu
aya di kamar. Manéhna ngarenghap. Beurat jeung hésé.
***
"Nya Mamah mah kumaha
enéng wéh. Mun enéng hoyongna kitu, nya mamah dukung. Tapi Mamah mah nyuhunkeun
éta kaputusan téh kedah dipikirkeun bener-bener pisan, sing asak méh teu
kaduhung engkéna." Omong indungna ka Déwi.
"Mamah sih nu salah
baheulana atos ngajodohkeun enéng sareng Dédén. Da sugan téa moal kieu atuh
jadina. Sugan téh Dédén can gaduh kabogoh jeung Mamah ningal sikep enéng ka
Dédén beda. Kitu deui Dédén. Mamah mikir Dédén ogé resep ka enéng, matakna Mamah
nyatujuan basa mamah Dédén ngusulkeun ngajodohkeun enéng sareng Dédén, da
barina gé Mamah sareng mamahna Dédén pan sobat pisan matakna tadina mah méh
langkung ngaraketkeun silaturahmi.” Tuluy manéhna mawa gelas urut cikopi ka
dapur. Déwi ngahuleng. Loba pisan anu kaalaman loba teuing anu kapikiran.
Manéhna ngarenghap. Aya anu ngagelek na dadana. Nyelek kana tikorona. Terus
terang manéhna rada beurat mun rék ngaleupaskeun Dédén. Tapi da kumaha, teu
guna mun Déwi terus jeung Dédén tapi Dédén teu nganggap manéhna aya. Geus
saminggu Déwi di imah indungna tapi can aya béja ti Dédén. Can aya kaputusan ti
Dédén jadina rék kumaha. Tungtungna kumaha. Rék masih atawa enggeusan!!
***
Dédén ngahuleng na sisieun
kasur. Manéhna diuk bari tungkul. Sababaraha lembar poto aya na leungeunna.
Hiji-hiji éta poto ditinggalian. Poto manéhna jeung Nanda basa masih bobogohan.
Rét kana beulah katuhu. Aya poto manéhna jeung Déwi basa panganténan. Poto nu
aya dina leungeunna diteundeun. Manéhna ngarénghap tuluy ngagolér. Geus
saminggu Déwi indit ninggalkeun manéhna. Lieur. Bingung. Baluweng ku kaayaan
ieu. Dédén teu nyangka manéhna bakal nyanghareupan kaayaan ieu. Sabulan saacan
Déwi indit Dédén papanggih jeung Nanda di jalan. Na pikiranana Nanda masih
keneh siga baréto. Euweuh anu robah boh dina sikep atawa dedeganana. Sanggeus
éta, Dédén jadi kapikiran waé. Naha jadi deg-degan? Naha jadi sono ka Nanda?
Naha jadi kaemut Nanda waé? Manéhna nyaho ieu salah, apal pisan manéhna gé.
Tapi da kumaha sabenérna Dédén masih nyaah pisan ka Nanda. Ras manéhna inget ka
kajadian sababaraha bulan ka tukang basa saacan nikah jeung Déwi.
"Nan, akang nyuhunkeun
hapunten, akang teu terang bakal kieu kajadiannana, akang teu apal pami ambu
tos gaduh calon. Akang teu terang pami ambu tos ngajodohkeun akang sareng putri
réréncangannana. Punten pisan akang bener-bener teu terang." Ceuk Dédén
bari rada peura sorana. Nu diajak ngobrol ngan ukur unggeuk bari tungkul.
"Nan, pami Nanda
beurat ngaleupas akang, akang siap ngabantah kohoyong ambu, engké
urang..."
"Ssstttttt... tos kang
tong nyarios deui, Nanda teu nanaon da, tos ah tong ngabantah kahoyong ambu
kang teu saé éta téh." Ceuk Nanda motong omongan Dédén.
"Nanda leres teu
kunanaon?" Ceuk Dédén rada hariwang. Nu ditanya ngan ukur unggeuk bari
imut.
"Tos kang urang cekap
dugi ka dieu waé, mugia akang bagja tur ngawangun kulawarga anu sakinah mawadah
warohmah sareng Déwi. Omat kang, akang teu kenging ngambek ka ambu gara-gara
ieu. Akang ogé teu kenging jadi dengdem ka Déwi nya, akang kedah nyaah ka Déwi
sapertos akang nyaah ka Nanda." Ceuk Nanda bari rada cirambay.
"Beurat Nan mun akang
kedah nyaah ka Déwi sapertos akang nyaah ka Nanda mah."
"Nanda percaya akang
tiasa. Nanda percaya Déwi langkung saé ti Nanda. Hiji tetela Nanda ka akang.
Jaga Déwi sing leres nya kang." Ceuk Nanda bari imut. Dédén ngahuleng.
Ngarénghap. Tuluy unggeuk lalaunan. Beurat. Ngan ukur unggeuk ogé manéhna
ngarasa beurat. Karasa pisan omongan Nanda bieu kapaksa. Karasa ku manéhna ogé
mun Nanda ngan pura-pura. Nyaho Dédén gé mun di jero haténa Nanda manéhna
ngarasa peurih pisan.
Dédén ngarénghap jero
pisan. Ngadadak kamar manéhna bet jadi asa panas pisan. Panas ngahéab. Manéhna
mikirkeun deui Déwi. Juniorna basa manéhna masih kuliah. Mimiti papanggih jeung
Déwi basa manéhna ménta pitulung pikeun ngerjkeun penelitian. Déwi émang
geulis, kadang manéhna bisa nyieun Dédén seuri tapi da Déwi teu siga Nanda.
Sikep Déwi béda pisan jeung Nanda. Tapi ayeuna masalahna lain éta. Nu jadi
masalahna ayeuna Dédén kudu méré kaputusan naon ka Déwi? Rék lanjut atawa
enggeusan waé? Dédén émang nyaah ka Déwi tapi rasa nyaah manéhna teu ciga ka
Nanda. Dédén ngarénghap deui mikiran éta bari peureum. Sepi. Asa tiiseun. Ngan
sora jarum jam anu kadéngé. Lalaunan Dédén teuleum dina impénan.
***
Déwi cicing na teras bari
ngahuleng ningalikeun 2 kukupu anu ngapung ka ditu ka dieu. Meni asa bébas
jeung euweuh bangbaluh éta kukupu téh.
"Néng kumaha tos aya
kaputusan ti Dédén téh?" Sora indung Déwi meuraykeun lamunan manéhna, Déwi
tuluy ngalieuk ka indungna.
"Teu acan mah, panginten
kang Dédén ogé masih beurat kénéh ngaleupas Nanda." Walon Déwi bari tuluy
ngarénghap,
"Wios wéh mah Déwi anu
ngéléhan. Méh Déwi wéh anu ngagugat ceré. Da pami diteraskeun ogé percuma ari
kang Dédénna masih nyaah ka Nanda mah." Sambung Déwi.
"Nya mamah mah kumaha
enéng wéh, pami éta atos janten kaputusan enéng mah Mamah moal ngawagel. Pék
éta mah enéng anu mutuskeun. Tapi omat naon anu janten kaputusan enéng, enéng
ulah kaduhung engkéna." Papatah mamah Déwi. Déwi tuluy ngahuleng deui
mikirkeun naon anu bieu diomongkeun mamahna. Déwi sadar manehna nyaah kénéh ka
Dédén, tapi mun angger dipertahankeun ogé da engkéna moal balég. Déwi nyokot
hapé di gigireunnana tuluy mencét hiji ngaran di kontakna
"Hallo." Walon
Déwi saenggeus telepon di sebrang di angkat.
***
Sataun salajengna...
Dédén kakara balik ti
kantor, manéhna markir motor di pakarangan imahna, tuluy kukusek kana jero kantong
néangan konci imahna. Sanggeus kapanggih manéhna tuluy asup ka imah. Gék
manéhna diuk na korsi, tuluy indit ka dapur nyokot cai nginum. Sataun sanggeus
manéhna papisah, Dédén hirup sorangan, sagala nanaona dilakonan ku sorangan.
Manéhna teu nyangka kajadiannana bakal jadi kieu. Bakal papisah ogé tungtungna.
Sataun papisah jeung Déwi bet asa tiiseun, bet asa nineung, bet asa sono pisan
ka Déwi. Dédén kaduhung. Kaduhung baheula bet lila méré kaputusan, bet loba anu
dipikiran. Ari ayeuna geus kieu manéhna jadi hésé sorangan. Dédén tuluy indit
ka kamar, muragkeun manéh di kasur, rét kana poto manéhna basa panganténan jeung
Déwi.
"Kang, acuk ieu saé
teu?" Ceuk Déwi bari nembongkeun baju anu dipaké manéhna. Basa éta Déwi
jeung Dédén keur ngajaran baju pangantén jang nikahan manéhna pagéto. Dédén
neuteup Déwi imut tuluy unggeuk.
"Ah nya atos Déwi badé
nganggo acuk ieu wéh atuh." Walon manéhna bari seuri.
Kaciri pisan basa éta Déwi
kacida bungahna rék panganténan jeung Dédén. Ras manéhna inget ka Déwi. Inget
kana teuteup jeung imutna anu karasa nyaahna unggal Dédén balik ti kantor, Déwi
anu kacida sabarna nyanghareupan Dédén anu keur rungsing masalah kantor, Déwi
anu ngabebelaan saré dina korsi sabari nungguan Dédén mun Dédén keur kabagéan
balik peuting, jeung Déwi anu osok nembongkeun imutna unggal isuk. Kabéh sikep
Déwi éta teu bisa Dédén pohokeun jeung sikep Déwi éta anu nyieun Dédén sono ka
Déwi nepi ka hayang rujuk deui.
***
Isukna Dédén balik dina
wanci sariak layung, sisinarieun gawéan di kantorna saeutik jadi manéhna bias
balik rada beurang. Saperti biasa Dédén ngasupkeun motorna ka pakarangan
imahna. Bet asa reuwas manéhna ninggali jalma anu keur diuk dina korsi téras
nungguan manéhna. Déwi. Jalma anu ku manéhna dipikasono ayeuna keur nangtung
nungguan Dédén nu keur cicing olohok nempokeun manéhna. Déwi imut. Deg. Dédén
ngarasa deg-degan jeung sono ka imut Déwi. Imut anu geus sataun teu manéhna
tinggali ti Déwi.
"Hapunten Déwi kadieu
teu nyarios heula ka akang. Ngadadak tuda, teras moal lami barina gé." Ceuk
Déwi ngamimitian muka sora bari imut.
"Sawios néng teu
nanaon ngan pami nyarios heula mah ka akang, meureun di jemput." Ceuk
Dédén bari leumpang nyampeurkeun Déwi.
"Teu sawios kang, teu
kedah ngarépotkeun."
"Ah.. teu da, teu
ngarépotkeun." Ceuk Dédén. Duanana tuluy cicing, nangtung pahareup-hareup.
Déwi ninggalian sakurilingna.
"Sataun teu aya Déwi
meni teu aya nu robih kang, tapi nah jadi asa kotor nya?" Ceuk Déwi bari
nyéréngéh.
"Puguh wéh atuh néng
da saha anu bébérésna? Teu aya" Ceuk Dédén bari neuteup Déwi. Nu diajak
ngobrol tuluy cicing ngajauhan teuteupan Dédén.
"Kang, Déwi téh badé
nyuhunkeun hapunten kanggo palepatan Déwi anu tipayun." Dédén cicing bari
teu daék leupas neuteup Déwi.
"Hapunten pami tipayun
Déwi teu tiasa ngadamel akang seuri, teu tiasa ngabagjakeun akang, teu tiasa
ngadamel akang..."
"Ssstttttt..." Omongan
Déwi kapotong ku curuk Dédén anu ditapelkeun na biwir Déwi.
"Néng, tong nyarios
kitu ah, atos nya tong di bahas deui. Akang ngaraos bungah pami caket sareng
Déwi. Déwi teu gaduh salah nanaon ka akang, jadi teu kedah nyuhunkeun hapunten.
Anu kedah nyuhunkeun hapunten mah kedahna akang. Akang anu salah tos
nganyenyerikeun Déwi. Hapunten pisan." Ceuk Dédén bari sorana rada peura.
"Sawios kang, émang
kedahna kitu. Déwi teu kunanaon da." Walon Déwi.
Dédén ngarénghap
ngaleupaskeun kabeurat anu aya dihaténa tuluy ngomong
"Néng, jujur akang nyaah
kénéh ka Déwi, pami urang rujuk deui kumaha? Akang janji moal nganyenyeri Déwi
deui." Déwi cicing, teu ngaluarkeun sora saeutik-eutik acan. Tuluy manéhna
imut bari gogodég, manéhna tuluy mukakeun kantong, ngaluarkeun salembar kertas
tuluy dibikeun ka Dédén. Dédén narima kertas éta bari geumpeur, manéhna neuteup
Déwi bari kerung. Nu di teuteup masih kénéh nempokeun Dédén. Dédén muka eusi
kertas éta tuluy cicing. Dina éta kertas aya 2 ngaran jelema anu rék nikah.
Aris jeung Déwi. Dédén cicing kawas patung matana geus cirambay nahan kanyeri.
"Hapunten kang.."
Dua kecap anu manéhna déngé ti Déwi.
Déwi tuluy maju salangkah
kahareupeun Dédén manéhna tuluy nyium pipi kénca jeung katuhu Dédén terus
indit. Dédén masih nempokeun Déwi bari ngarasa kaduhung. Kaduhung anu
bener-bener kaduhung. Kaduhung kana paripolahna basa éta. Manéhna sadar ayeuna
yén paripolah leutik manéhna basa éta dampakna gede keur manéhannana. Ayeuna
Dédén ngan ukur bisa ngégél curuk. Nempokeun nasibna anu geus teu bisa rujuk
deui jeung Déwi. Ahirna Dédén sadar halodo sataun lantis ku hujan sapoé.
TAMAT
Langganan:
Postingan (Atom)
"Simple Thing Called Love" by Anna Triana
Judul : Simple Thing Called Love Penulis : Anna Triana Penerbit : Elex Media Komputindo ISBN : 978 - 602 - 0...
-
Pernah denger salah satu lagu Efek Rumah Kaca dengan judul Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa? Yap, lagu yang berada dalam album Kamar Gelap d...
-
Judul : Ananta Prahadi Penulis : Risa Saraswati Penerbit : Rak Buku ISBN ...