JNGGA

Selasa, 15 Oktober 2013

yang slalu ku nanti! eiiiiits ati ati bro!

wahai kau yang slalu ada dalam mimpiku
yang slalu ada dalam imaji ku yang tak nyata
aku mungkin menunggumu di persimpangan jalan

slalu menunggu dengan harap yang tak pasti
mungkinkah kau akan datang lewat persampingan itu dan bertemu denganku ?
ataukah kau tak akan dan selamanya pun tak akan pernah melewati persimpangan itu?

jika benar itu takdirmu
aku tak oerduli
aku tak perduli walau kau melewati jalan lain dan tak bertemu denganku yang menunggumu di persimpangan itu
aku tak peduli

aku akan tetap menunggumu sampai bosan datang menjemputku

aah entahlah sepertinya bosan itu tak akan menemuiku lagi
ia sudah jengan bertemu denganku

kini hanya takdir yang dapat mempertemukan kita
aku harap dan akan terus berharap
kau melewati persimpangan itu dan menemuiku
 persimpangan tempat aku menunggu dirimu
hingga akhirnya kita bisa bertemu saling melepas rindu dan lelah
lalu bersama merajut impian yang tak segera usai


kekasihku (dalam untaian doa dan nada)

wahai kekasihku
kita berdua bagai berada dalam imaji yang nyata
aku ada dan kau pun ada
tapi di antara kita terdapat satu tembok penghalang yang menjulang tinggi.

mengapa ini terjadi sayang?
aku tak mengerti, aku mencintaimu ya aku benar-benar mencintaimu
tapi apa yang kau rasakan?

cinta ini bagai bertepuk sebelah tangan .

sayang, jika langit tak mampu lagi menampakan bintang maka lebih baik bintang itu tak usah ada selamanya
apakah itu berlaku jga untukku sayang?

sayang, harus dengan cara apa aku membuktikan bahwa aku mencintaimu dan sungguh sungguh terhadapmu?

sayang, tolonglah kita ini berada dalam satu bingkai, berada dalam satu tubuh dan juga dalam satu cerita

buatlah cerita itu utuh sayang jangan biarkan tembok yang tinggi menghalangi kita untuk merangkai cerita indah untuk anak cucu kita kelak

laksana air yang mengalir di bukit aku harap kamu dapat berubah ,
memberi tingkah laku yang manis layaknya pangeran yang menjemput sang permaisuri

Senin, 14 Oktober 2013

KETIKA SANG JINGGA PERGI

Waiting for your call, I'm sick, call I'm angry 
call I'm desperate for your voice 
Listening to the song we used to sing 
In the car, do you remember 
Butterfly, Early Summer 
It's playing on repeat, Just like when we would meet
Like when we would meet 
 Cause I was born to tell you I love you 
and I am torn to do what I have to, to make you mine 
Stay with me tonight .

            Perlahan musik awal itu mengalun lembut di telingaku, membawaku akan kenangan indah di masa lalu. Jingga. Seseorang yang selama ini ku tunggu dan kunanti kedatangannya saat matahari terbenam. Di sisi laut dan menghadap ke barat, ku duduk terdiam sambil mendengarkan lagu itu. Berharap akan kedatangannya dari arah barat dan menarikku ke dalam pelukannya. Melepaskan rasa rindu dan haru bersama di tengah indahnya semburan langit jingga yang menghias langit barat.
                                                                        ***


            "Jingga? Jingga mana?" Tanyaku pada Bisma ketika dia selesai berbicara.
            "Itu temanku yang tempo hari aku ceritakan." Jawabnya santai.
            "Oh yang orangnya kocak itu?"
            "Iya."
            "Ih namanya aneh seperti perempuan." Ucapku kemudian.
            Kocak. Satu kata itulah yang membuatku menjadi sangat menyukainya. Aku ingat betul ketika pertama kali dia menghubungiku. Pada awal nya aku tak mempunyai perasaan apapun terhadapnya. Tak sedikitpun aku menaruh hati padanya. Tak jarang pula aku tak membalas pesan singkat yang dia berikan padaku. Entah mengapa dulu aku sangat enggan untuk berhubungan dengannya, mungkin karena dulu aku masih mempunyai seorang kekasih bernama Tama. Aku sangat ingat ketika Bisma, saudaraku berkata bahwa Jingga terlihat kesal karena aku jarang membalas pesan singkat yang dia berikan. Bukannya aku tak ingin untuk membalas pesan singkatnya tetapi karena memang pesan-pesan yang masuk ke dalam handphone ku memang jenis pesan yang tidak menghendaki  jawaban. Beberapa bulan setelah itu aku dan Jingga hampir tidak pernah berkomunikasi lagi. Hingga pada suatu malam saat hubunganku dan Tama berakhir, dia kembali mengirimi aku satu pesan singkat. Sebuah kata-kata cinta dengan berhasil masuk ke dalam handphoneku. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu, sambil menangis ku gerakan jari jemariku di atas keyword handphone. Tak lama kemudian handphone ku berbunyi pertanda ada pesan masuk. Kembali Jingga membalas pesanku dengan kata-kata yang tak menghendaki jawaban. Aku pun membiarkannya dan melanjutkan menangis. Aku ingat betul saat itu. Pada puku 21.00 handphone ku kembali berbunyi tetapi kali ini bukan pertanda ada pesan masuk melainkan telepon. Aku sangat ingat akan pembicaraan aku dengannya dulu. Dia hadir sebagai penghibur bagiku. Dan saat itu pula dia menyanyikan lagu itu dengan petikan gitar yang indah. Aku juga ingat saat itu dia menawari aku untuk bercerita padanya, tetapi aku menolak. Malam itu aku dan dia berbicara sampai larut, apapun yang ada di pikiran aku dan dia pasti diutarakan. Kedekatan aku dan Jingga pun berlanjut sampai akhirnya aku sadar bahwa aku menaruh hati padanya. Jingga. Sosok orang yang apa adanya. Dia tak segan-segan untuk memperlihatkan sifat buruknya padaku. Sifat yang seharusnya membuatku menjadi membenci atau tidak menyukainya. Tetapi justru sebaliknya. Aku menjadi begitu menyukainya. Aku suka dengan sifatnya yang apa adanya dan tak jarang membuatku tertawa. Hingga pada akhirnya saat itu datang. Saat Jingga datang dengan wajah kelam, lalu menghampiriku.
            "Ada yang harus kubicarakan." Ucapnya dengan murung.
            "Ada apa Ga?" Tanyaku heran.
            "Arlin, aku harus pergi sore ini juga. Aku akan bertugas di Eropa selama 1 tahun. Dan selama itu kita tidak akan bertemu." Ucapnya dengan penuh rasa khawatir. Aku masih shock dengan kabar itu, sehingga aku hanya bisa terdiam dan membisu dihadapannya.
            "Kau.. Bisa menunggu ku sampai nanti aku kembali?" Tanyanya dengan nada yang sarat kekhawatiran. Aku pun hanya tertunduk lalu mengangguk perlahan.
            "Baiklah, aku percaya padamu Lin. Tunggulah aku di langit barat ketika matahari mulai terbenam, maka aku akan datang dan memelukmu dengan segenap jiwa dan raga."

            Perasaanku sungguh berkecamuk saat itu. Sungguh sulit ku percaya bahwa hubunganku dengannya harus berakhir bahkan sebelum dimulai. Lalu dia mengulurkan tangannya dan merengkuhku ke dalam pelukannya. Pelukan yang hangat dan menenangkan. Sejak saat itu dia mulai pergi dan aku mulai menunggu pada saat matahari terbenam.
                                                                                                ***
            Entah sudah ke berapa matahari terbenam yang ku lalui. Sejak saat itu aku mulai menunggu, menunggu dan terus menunggu sampai Jingga benar-benar datang dari langit yang berwarna jingga. Aku tak pernah bosan untuk terus menunggunya. Aku tak pernah lelah untuk menunggu sang jingga datang. Aku tak sabar untuk melihat wajah cerahnya yang ditimpa sinar matahari sore. Dia akan terlihat lebih tampan dari biasanya. Aku pun tak sabar untuk bernyanyi dan tertawa bersama kembali. Melanjutkan hubungan aku dan dia yang sempat tertunda. Jinggaku yang ku tunggu, entah kapan dia akan kembali, dan entah keberapa jingga yang harus kulalui. Mungkinkah esok, lusa atau seterusnya. Atau mungkin Jinggaku tak akan pernah kembali, terbenam bersama matahari jingga dan tak akan pernah terbit kembali selama-lamanya.


TAMAT

Minggu, 13 Oktober 2013

untukmu seseorang dalam imaji

aku tak mengerti mengapa kita harus bertemu
kita bertemu dalam dua bingkai yang berbeda
aku mengenalmu sedangkan kau tak mengenalku
aku tak habis pikir mengapa kita bertemu dan Tuhan menciptakan rasa dalam diriku untuk dirimu yang tak biasa
rasa yang membuatku bergetar dan selalu di selimuti rasa rindu
mengapa ini terjadi?
kita tak saling mengenal sebelumnya
namun rasa apa ini?

kadang kala
ketika malam datang menjemput aku selalu berfikir
apakah kau merasa hal yang sama terhadapku?
mungkinkah Tuhan mempertemukan kita karna ada maksud lain?

tak ada yang  mustahil di dunia ini
aku tau itu
tapi terkadang semua kenyataan tak masuk dalam logika
mungkin kau tak akan masuk ke dalam logika kukau hanyak ada dalam imaji

kau nyata tapi tak untuk menjadi kenyataan

mungkin kau hanya akan hidup dalam imajiku
dari imaji dan selamanya hanya dalam imaji

BALUKAR

Déwi diuk gigireun kasur bari nyekel salembar kertas. Kertas anu eusina sajak, paméré ti Dédén jaman keur bobogohan kénéh. Seuri. Manéhna rada seuri sanggeus maca éta sajak. Inget kanu méré éta sajak baheula. Katempo pisan nyaahna Dédén harita, karasa ku manéhna ogé nyaah pisan. Béda kawas ayeuna. Béda jauh pisan. Déwi neuteup Dédén nu keur diuk hareupeunana. Nu diteuteup kadon tungkul ninggalikeun indung suku anu napak kana ubin.
***
CINTA
Cinta lir ibarat kalangkang
Deukeut anggang bisa di atur ku urang
Cinta bisa ilang jeung némbongan
Repok jodo ahirna datang sorangan
Aduh-aduh cinta, aduh aduh cinta
Cinta panjang lalakonna
Cinta lir ibarat nu geulis
Gerak éndah ginulur séwu mamanis
Cinta perlu jalan anu luwes
Salogoto kapakan diacam putus
Aduh-aduh cinta, aduh-aduh cinta
Cinta perlu kasadaran
Cinta datang teu karasa
Gandrung liwung mihareup nu kapiati
Cinta matak anteng beurang peuting
Ngadak-ngadak dunya asa nu sorangan
Aduh-aduh cinta, aduh-aduh cinta
Cinta mangkak ligar éndah
Aduh-aduh cinta, aduh-aduh cinta
Cinta kembangna kanyaah.
Dédén cinta Déwi
..Dédén..
            Déwi neuteup éta sajak, tarangna kerung bari nyekel sagagang mawar beureum, tuluy ngarérét ka jalma anu keus saré dina korsi téras. Dédén kabogohna. Manéhna nyampeurkeun nu keur nyangsaya dina korsi. Lalaunan dideukeutan. Manéhna rada dongko, ngasajajarkeun hulu manéhna jeung Dédén. Déwi neuteup bari imut. Merhatikeun guratan kana guratan raray Dédén. Bet kaciri pisan yén Dédén téh nungguan manéhna balik lila pisan. Meni ngaguher saréna gé. Capéeun sigana. Teu lila nu diteuteup beunta. Panonna kekerejepan dibelél-belél. Samar-samar kaciri aya nu neuteup bari imut. Déwi kabogohna. Déwi tuluy diuk gigireunana.
            "Tos lami ngantosan, Kang?" Pokna.
            "Euh tos 2 taun ti tatadi, meni lami diantosan téh atuh, Néng. Ti mana heula? Jadi wéh akang mondok di dieu, teu kiat tuda tunduh. Badé wangsul tapi da sono hoyong pendak."
            "Nya hapunten, Kang da Déwi teu terang akang badé ka dieu. Ieu milarian diktat kanggo pagéto. Teu nelepon heula da terang pasti nuju sibuk." Ceuk Déwi.
            "Ieu ti akang?" Pokna deui bari ngasongkeun kembang mawar jeung sajakna.
            "Sumuhun geulis, sajakna saé, nya?" Ceuk Dédén bari nyéréngéh.
            "Hm, saé Kang, tapi naha éta sajak téh kecap-kecapna asa siga rumpaka lagu nya?" Ceuk Déwi bari kerung. Dédén seuri ngagikgik tuluy ngawalon.
            "Nya émang éta rumpaka lagu, Néng."
            "Ih, akang mah sugan téh sajak nyaanan." Ceuk Déwi bari nyiwit laun leungeun Dédén.
            "Eh atuh néng pan akang teu tiasa ngadamel sajak, tapi akang téh hoyong masihan sajak ka Déwi nya atos wéh akang pasihan rumpaka lagu méh katinggal romantis." Ceuk Dédén bari nyéréngéh deui. Déwi seuri deui bari neuteup Dédén nu keur imut. Bet meni asa sukur pisan 2 minggu manéhna rék nikah jeung Dédén. Asa bungah pisan sakeudeung deui manéhna bakal jadi pamajikan Dédén.
***
            Déwi masih diuk gigireun kasur. Ngahuleng. Loba teuing anu geus kaalaman ku manéhanana. Dédén masih diuk hareupeun Déwi, masih tungkul. Bingung naon anu kudu ku manéhna dipilampah. Duanana cicing, euweuh anu ngaluarkeun sora. Sepi. Sepi kawas di kuburan. Euweuh anu daék mimiti ngomong, mimiti ngaluarkeun sora.
            "Kang, urang atosan wéh atuh nya?" Déwi ngamimitian muka sora bari ngahuleng nempo kaluar jandela. Dédén reuwas ku omongan Déwi, manéhna tanggah. Kaciri pisan reuwasna.
            "Maksadna naon, Néng? Akang teu ngartos." Walon Dédén peura.
            "Urang hirup sasarengan dugi kadieu wéh Kang. Ayeuna mah urang jalanan hirup masing-masing wéh. Papirak." Témbal Déwi masih keneh ngahuleng bari ninggali kaluar jandéla.
            "Enéng nyuhunkeun ceré ka akang? Ku naon Néng? Naha ujug-ujug kieu? Cik-cik urang badami nu leres.” Déwi ngarénghap beurat.
            "Kang.. Akang masih nyimpen rasa ka Nanda, pan? Mantan kabogoh akang saacan Déwi. Déwi terang éta kang terang pisan. Da karaos ku Déwi gé sikep akang ka Déwi saréng sikep akang ka Nanda benten pisan. Déwi mah alim wéh pami ieu diteraskeun akang jadi teu bagja. Teu bingah. Mangga wéh ayeuna mah cerékeun Enéng akang uihan deui sareng Nanda. Enéng rido kang, ikhlas lilahi ta'ala." Omong Déwi. Dédén ngarandeg. Cicing. Soak. Reuwas ka nu bieu diomongkeun ku Déwi. Manéhna ngarénghap, tuluy nyarita.
            "Hapunten pisan néng sateuacana, tapi anu bieu dicarioskeun Enéng émang leres. Teu salah. Akang émang masih nyimpen rasa ka Nanda." Pokna. Tuluy cicing. Ngarénghap. Deg. Déwi ngarandeg. Asa nyeri kana nu bieu manéhna déngé. Nyeri pisan nurih kana ati.
            "Terang akang gé terang pisan ieu salah. Akang atos nganyenyeri enéng. Tapi jujur, akang ogé nyaah ka enéng. Akang teu sudi mun kudu nalak enéng mah." Sambungna deui.
            "Nya terus ayeuna hoyongna akang kumaha atuh sok?"
            "Beréskeun sacara kakulawargaan Néng. Urang beréskeun lalaunan, tong rurusuhan da akang gé butuh waktos!"
            "Nya atos ari kitu mah Kang, sok akang pikirkeun nu leres badé kumaha. Déwi moal ngawagel. Wayahna ayeuna akang nyalira heula, Déwi badé wangsul wéh ka mamah sareng papap. Tong nyusul Déwi saacan mendak kaputusan." Omong Déwi bari mérésan baju kana koper. Tuluy indit ka luar. Dédén ngan bisa ngahuleng masih diuk dina korsi nu aya di kamar. Manéhna ngarenghap. Beurat jeung hésé.
***
            "Nya Mamah mah kumaha enéng wéh. Mun enéng hoyongna kitu, nya mamah dukung. Tapi Mamah mah nyuhunkeun éta kaputusan téh kedah dipikirkeun bener-bener pisan, sing asak méh teu kaduhung engkéna." Omong indungna ka Déwi.
            "Mamah sih nu salah baheulana atos ngajodohkeun enéng sareng Dédén. Da sugan téa moal kieu atuh jadina. Sugan téh Dédén can gaduh kabogoh jeung Mamah ningal sikep enéng ka Dédén beda. Kitu deui Dédén. Mamah mikir Dédén ogé resep ka enéng, matakna Mamah nyatujuan basa mamah Dédén ngusulkeun ngajodohkeun enéng sareng Dédén, da barina gé Mamah sareng mamahna Dédén pan sobat pisan matakna tadina mah méh langkung ngaraketkeun silaturahmi.” Tuluy manéhna mawa gelas urut cikopi ka dapur. Déwi ngahuleng. Loba pisan anu kaalaman loba teuing anu kapikiran. Manéhna ngarenghap. Aya anu ngagelek na dadana. Nyelek kana tikorona. Terus terang manéhna rada beurat mun rék ngaleupaskeun Dédén. Tapi da kumaha, teu guna mun Déwi terus jeung Dédén tapi Dédén teu nganggap manéhna aya. Geus saminggu Déwi di imah indungna tapi can aya béja ti Dédén. Can aya kaputusan ti Dédén jadina rék kumaha. Tungtungna kumaha. Rék masih atawa enggeusan!!
***
            Dédén ngahuleng na sisieun kasur. Manéhna diuk bari tungkul. Sababaraha lembar poto aya na leungeunna. Hiji-hiji éta poto ditinggalian. Poto manéhna jeung Nanda basa masih bobogohan. Rét kana beulah katuhu. Aya poto manéhna jeung Déwi basa panganténan. Poto nu aya dina leungeunna diteundeun. Manéhna ngarénghap tuluy ngagolér. Geus saminggu Déwi indit ninggalkeun manéhna. Lieur. Bingung. Baluweng ku kaayaan ieu. Dédén teu nyangka manéhna bakal nyanghareupan kaayaan ieu. Sabulan saacan Déwi indit Dédén papanggih jeung Nanda di jalan. Na pikiranana Nanda masih keneh siga baréto. Euweuh anu robah boh dina sikep atawa dedeganana. Sanggeus éta, Dédén jadi kapikiran waé. Naha jadi deg-degan? Naha jadi sono ka Nanda? Naha jadi kaemut Nanda waé? Manéhna nyaho ieu salah, apal pisan manéhna gé. Tapi da kumaha sabenérna Dédén masih nyaah pisan ka Nanda. Ras manéhna inget ka kajadian sababaraha bulan ka tukang basa saacan nikah jeung Déwi.
            "Nan, akang nyuhunkeun hapunten, akang teu terang bakal kieu kajadiannana, akang teu apal pami ambu tos gaduh calon. Akang teu terang pami ambu tos ngajodohkeun akang sareng putri réréncangannana. Punten pisan akang bener-bener teu terang." Ceuk Dédén bari rada peura sorana. Nu diajak ngobrol ngan ukur unggeuk bari tungkul.
            "Nan, pami Nanda beurat ngaleupas akang, akang siap ngabantah kohoyong ambu, engké urang..."
            "Ssstttttt... tos kang tong nyarios deui, Nanda teu nanaon da, tos ah tong ngabantah kahoyong ambu kang teu saé éta téh." Ceuk Nanda motong omongan Dédén.
            "Nanda leres teu kunanaon?" Ceuk Dédén rada hariwang. Nu ditanya ngan ukur unggeuk bari imut.
            "Tos kang urang cekap dugi ka dieu waé, mugia akang bagja tur ngawangun kulawarga anu sakinah mawadah warohmah sareng Déwi. Omat kang, akang teu kenging ngambek ka ambu gara-gara ieu. Akang ogé teu kenging jadi dengdem ka Déwi nya, akang kedah nyaah ka Déwi sapertos akang nyaah ka Nanda." Ceuk Nanda bari rada cirambay.
            "Beurat Nan mun akang kedah nyaah ka Déwi sapertos akang nyaah ka Nanda mah."
            "Nanda percaya akang tiasa. Nanda percaya Déwi langkung saé ti Nanda. Hiji tetela Nanda ka akang. Jaga Déwi sing leres nya kang." Ceuk Nanda bari imut. Dédén ngahuleng. Ngarénghap. Tuluy unggeuk lalaunan. Beurat. Ngan ukur unggeuk ogé manéhna ngarasa beurat. Karasa pisan omongan Nanda bieu kapaksa. Karasa ku manéhna ogé mun Nanda ngan pura-pura. Nyaho Dédén gé mun di jero haténa Nanda manéhna ngarasa peurih pisan.
            Dédén ngarénghap jero pisan. Ngadadak kamar manéhna bet jadi asa panas pisan. Panas ngahéab. Manéhna mikirkeun deui Déwi. Juniorna basa manéhna masih kuliah. Mimiti papanggih jeung Déwi basa manéhna ménta pitulung pikeun ngerjkeun penelitian. Déwi émang geulis, kadang manéhna bisa nyieun Dédén seuri tapi da Déwi teu siga Nanda. Sikep Déwi béda pisan jeung Nanda. Tapi ayeuna masalahna lain éta. Nu jadi masalahna ayeuna Dédén kudu méré kaputusan naon ka Déwi? Rék lanjut atawa enggeusan waé? Dédén émang nyaah ka Déwi tapi rasa nyaah manéhna teu ciga ka Nanda. Dédén ngarénghap deui mikiran éta bari peureum. Sepi. Asa tiiseun. Ngan sora jarum jam anu kadéngé. Lalaunan Dédén teuleum dina impénan.
***
            Déwi cicing na teras bari ngahuleng ningalikeun 2 kukupu anu ngapung ka ditu ka dieu. Meni asa bébas jeung euweuh bangbaluh éta kukupu téh.
            "Néng kumaha tos aya kaputusan ti Dédén téh?" Sora indung Déwi meuraykeun lamunan manéhna, Déwi tuluy ngalieuk ka indungna.
            "Teu acan mah, panginten kang Dédén ogé masih beurat kénéh ngaleupas Nanda." Walon Déwi bari tuluy ngarénghap,
            "Wios wéh mah Déwi anu ngéléhan. Méh Déwi wéh anu ngagugat ceré. Da pami diteraskeun ogé percuma ari kang Dédénna masih nyaah ka Nanda mah." Sambung Déwi.
            "Nya mamah mah kumaha enéng wéh, pami éta atos janten kaputusan enéng mah Mamah moal ngawagel. Pék éta mah enéng anu mutuskeun. Tapi omat naon anu janten kaputusan enéng, enéng ulah kaduhung engkéna." Papatah mamah Déwi. Déwi tuluy ngahuleng deui mikirkeun naon anu bieu diomongkeun mamahna. Déwi sadar manehna nyaah kénéh ka Dédén, tapi mun angger dipertahankeun ogé da engkéna moal balég. Déwi nyokot hapé di gigireunnana tuluy mencét hiji ngaran di kontakna
            "Hallo." Walon Déwi saenggeus telepon di sebrang di angkat.
***
Sataun salajengna...
            Dédén kakara balik ti kantor, manéhna markir motor di pakarangan imahna, tuluy kukusek kana jero kantong néangan konci imahna. Sanggeus kapanggih manéhna tuluy asup ka imah. Gék manéhna diuk na korsi, tuluy indit ka dapur nyokot cai nginum. Sataun sanggeus manéhna papisah, Dédén hirup sorangan, sagala nanaona dilakonan ku sorangan. Manéhna teu nyangka kajadiannana bakal jadi kieu. Bakal papisah ogé tungtungna. Sataun papisah jeung Déwi bet asa tiiseun, bet asa nineung, bet asa sono pisan ka Déwi. Dédén kaduhung. Kaduhung baheula bet lila méré kaputusan, bet loba anu dipikiran. Ari ayeuna geus kieu manéhna jadi hésé sorangan. Dédén tuluy indit ka kamar, muragkeun manéh di kasur, rét kana poto manéhna basa panganténan jeung Déwi.
            "Kang, acuk ieu saé teu?" Ceuk Déwi bari nembongkeun baju anu dipaké manéhna. Basa éta Déwi jeung Dédén keur ngajaran baju pangantén jang nikahan manéhna pagéto. Dédén neuteup Déwi imut tuluy unggeuk.
            "Ah nya atos Déwi badé nganggo acuk ieu wéh atuh." Walon manéhna bari seuri.
            Kaciri pisan basa éta Déwi kacida bungahna rék panganténan jeung Dédén. Ras manéhna inget ka Déwi. Inget kana teuteup jeung imutna anu karasa nyaahna unggal Dédén balik ti kantor, Déwi anu kacida sabarna nyanghareupan Dédén anu keur rungsing masalah kantor, Déwi anu ngabebelaan saré dina korsi sabari nungguan Dédén mun Dédén keur kabagéan balik peuting, jeung Déwi anu osok nembongkeun imutna unggal isuk. Kabéh sikep Déwi éta teu bisa Dédén pohokeun jeung sikep Déwi éta anu nyieun Dédén sono ka Déwi nepi ka hayang rujuk deui.
***
            Isukna Dédén balik dina wanci sariak layung, sisinarieun gawéan di kantorna saeutik jadi manéhna bias balik rada beurang. Saperti biasa Dédén ngasupkeun motorna ka pakarangan imahna. Bet asa reuwas manéhna ninggali jalma anu keur diuk dina korsi téras nungguan manéhna. Déwi. Jalma anu ku manéhna dipikasono ayeuna keur nangtung nungguan Dédén nu keur cicing olohok nempokeun manéhna. Déwi imut. Deg. Dédén ngarasa deg-degan jeung sono ka imut Déwi. Imut anu geus sataun teu manéhna tinggali ti Déwi.
            "Hapunten Déwi kadieu teu nyarios heula ka akang. Ngadadak tuda, teras moal lami barina gé." Ceuk Déwi ngamimitian muka sora bari imut.
            "Sawios néng teu nanaon ngan pami nyarios heula mah ka akang, meureun di jemput." Ceuk Dédén bari leumpang nyampeurkeun Déwi.
            "Teu sawios kang, teu kedah ngarépotkeun."
            "Ah.. teu da, teu ngarépotkeun." Ceuk Dédén. Duanana tuluy cicing, nangtung pahareup-hareup. Déwi ninggalian sakurilingna.
            "Sataun teu aya Déwi meni teu aya nu robih kang, tapi nah jadi asa kotor nya?" Ceuk Déwi bari nyéréngéh.
            "Puguh wéh atuh néng da saha anu bébérésna? Teu aya" Ceuk Dédén bari neuteup Déwi. Nu diajak ngobrol tuluy cicing ngajauhan teuteupan Dédén.
            "Kang, Déwi téh badé nyuhunkeun hapunten kanggo palepatan Déwi anu tipayun." Dédén cicing bari teu daék leupas neuteup Déwi.
            "Hapunten pami tipayun Déwi teu tiasa ngadamel akang seuri, teu tiasa ngabagjakeun akang, teu tiasa ngadamel akang..."
            "Ssstttttt..." Omongan Déwi kapotong ku curuk Dédén anu ditapelkeun na biwir Déwi.
            "Néng, tong nyarios kitu ah, atos nya tong di bahas deui. Akang ngaraos bungah pami caket sareng Déwi. Déwi teu gaduh salah nanaon ka akang, jadi teu kedah nyuhunkeun hapunten. Anu kedah nyuhunkeun hapunten mah kedahna akang. Akang anu salah tos nganyenyerikeun Déwi. Hapunten pisan." Ceuk Dédén bari sorana rada peura.
            "Sawios kang, émang kedahna kitu. Déwi teu kunanaon da." Walon Déwi.
            Dédén ngarénghap ngaleupaskeun kabeurat anu aya dihaténa tuluy ngomong
            "Néng, jujur akang nyaah kénéh ka Déwi, pami urang rujuk deui kumaha? Akang janji moal nganyenyeri Déwi deui." Déwi cicing, teu ngaluarkeun sora saeutik-eutik acan. Tuluy manéhna imut bari gogodég, manéhna tuluy mukakeun kantong, ngaluarkeun salembar kertas tuluy dibikeun ka Dédén. Dédén narima kertas éta bari geumpeur, manéhna neuteup Déwi bari kerung. Nu di teuteup masih kénéh nempokeun Dédén. Dédén muka eusi kertas éta tuluy cicing. Dina éta kertas aya 2 ngaran jelema anu rék nikah. Aris jeung Déwi. Dédén cicing kawas patung matana geus cirambay nahan kanyeri.
            "Hapunten kang.." Dua kecap anu manéhna déngé ti Déwi.
            Déwi tuluy maju salangkah kahareupeun Dédén manéhna tuluy nyium pipi kénca jeung katuhu Dédén terus indit. Dédén masih nempokeun Déwi bari ngarasa kaduhung. Kaduhung anu bener-bener kaduhung. Kaduhung kana paripolahna basa éta. Manéhna sadar ayeuna yén paripolah leutik manéhna basa éta dampakna gede keur manéhannana. Ayeuna Dédén ngan ukur bisa ngégél curuk. Nempokeun nasibna anu geus teu bisa rujuk deui jeung Déwi. Ahirna Dédén sadar halodo sataun lantis ku hujan sapoé.
TAMAT

"Simple Thing Called Love" by Anna Triana

Judul          : Simple Thing Called Love Penulis       : Anna Triana Penerbit      : Elex Media Komputindo ISBN          : 978 - 602 - 0...