JNGGA

Minggu, 13 Juli 2014

hujan?

Demi hujan dan angin
Aku menyerah pada air mata
kubiarkan butiran kristal ini jatuh pada bumi dan ikut pergi bersamamu

Untuk rasa sakit pada ulu hati
Kubiarkan air mataku memenuhi pelupuk mata
Biar ia tinggal pada mataku lalu turun bebas pada bumi
Membiarkan sang bumi menerimanya lalu tinggal dalam keabadian bersama mu, hujan

Untuk seseorang yang sama
Kubiarkan air mataku jatuh untuk yang kesekian kalinya
Memenuhi pikirannya sebelum akhirnya ia menjatuhkan diri kepada bumi
Memasrahkan nasibnya pada gejolak bumi bersama air hujan

Untuk langit yang gelap
Ku biarkan kau menangis seperti ku saat ini
Kuajak kau untuk merasakan bagaimana rasanya patah hati untuk pengorbanan, kasih sayang hingga hadirlah puncak pengorbanan bernama cinta
Kini kita sama
Menangis dan mengeluarkan air dari pelupuk matamu yang indah
Seharusnya kau tak menangis hari ini
Cukup aku dan hatiku yang menangis
cukup aku dan imajinasiku yang menangis
Hanya aku dan tubuhku.
Tidak angin, hujan juga kamu

Jumat, 04 Juli 2014

Saat Waktu Terus Bergulir

Untuk waktu yang terus berlari
Menabrak semua asa dan harapan yang ada
Demi angin. Bisakah kau berhenti sejenak ketika aku sedang bersamanya?
Bisakah kau berhenti berlari saat asa dan harapan itu kembali muncul?

Demi waktu, aku terlalu bahagia ketika aku melihatnya dikejauhan. Aku terlalu cinta untuk mengabaikannya di pertigaan itu. Tapi aku terlalu takut untuk tenggelam lebih dalam bersama dirinya. Tidak. Aku sudah tenggelam terlalu dalam untuk hal ini.

Demi hujan dan pagi,
Bisakah kau katakan pada waktu untuk beristirahat sejenak?
Aku masih ingin melihat senyumnya yang menghiasi bibirnya.
Aku masih ingin tertawa bersamanya walau hanya sekejap.

Mungkin aku terlalu egois. Iya aku terlalu egois untuk tak bertemu dengannya. Aku terlalu egois untuk mempertahankan dirinya agar tetap ada dalam bola mataku.
Tapi sadarkah kau ketika aku mulai melihatmu lagi aku merasa pipi ini panas? Jantungku berdegup kencang sampai aku tak mendenger degup jantungku sendiri.
Ketika kau mulai memanggil namaku, aku menoleh. Dan saat itu aku melihat senyummu begitu indah. Begitu manis sampai aku tak sanggup melupakan senyummu.
Seketika itu jantungku makin menggila. Ada harapan yang menggila dalam diam. Berteriak memohon agar tak terlalu jauh tapi aku tetap egois.
Tidak. Sejak kau katakan permintaan itu saraf pada otakki sudah tidak berfungsi. Hanya hati dan perasaan yang mengendalikan tubuhku. Dan sampai saat kita bertemupun aku masih merasakannya. Disaat kita duduk berdampingan membicarakan apapun yang ada dalam pikiran kita masing masing saat itu lah aku merasa egois. Aku ingin waktu berhenti beberapa saat. Hanya agar aku dapat melihat senyummu lebih lama lagi. Aku tau itu tak mungkin.
Saat akhirnya kita berjalan masing masinv aku berfikir kapan kita akan ada dalam situasi seperti ini lagi? Akankah kita menemukan waktu lain selain hari ini, kesempatan ini. Saat itu juga aku merasa marah pada waktu. Mengapa kau datang begitu cepat? Mengapa kah mengambil kebahagiaanku?
Seperti dihempaskan dengan paksa aku mengerti itulah waktu yang Tuhan berikan padaku. Mungkin hanya untuk saat itu. Mungkin Tuhan hanya membiarkanku untuk mencobanya sekali. Mungkin Tuhan memberikan sepercik kebahagiaan dengan cara itu. Aku tau
Tapi saat ini yang aku rasakan, aku menyesal. Menyesal atas waktu yang berjalan begitu cepat. Atau menyesal karna aku yang memberikan waktu sesingkat itu?


Bandung, Juli 2014

Selasa, 01 Juli 2014

Akhir Kisahku

"Aku tak boleh jatuh cinta padanya, sebab aku tau akhir ceritanya akan seperti apa"

Selalu, kata-kata itu yang hadir dalam benakku. Ya aku tak boleh jatuh cinta padanya apalagi menaruh rasa sayang terhadapnya. Aku tak ingin dia berubah, aku tak ingin menyesal di lain waktu, aku tak ingin menangis karnanya. Mungkin aku munafik, aku terlalu menyangkal akan hadirnya sebuah cinta di antara kami. Tapi tolonglah tidak untuk saat ini dan tidak padanya, tidak pada orang yang selalu hadir dalam hari-hariku walau sekedar berbagi tawa dan canda. Pikiranku melayang padanya. Tentang dia yang selalu baik padaku. Senyumnya, tawanya, tatapan matanya hingga cara dia berbicara dan memandangku. Perlahan aku meletakan pinsil yang sejak tadi melekat pada tanganku dan siap untuk digoreskan pada kertas putih yang kini ada di depanku.
'Tidak, aku tidak bisa. Terlalu banyak yang kupikirkan tentang dia' ucapku dalam hati.
Aku mengambil cangkir yang berisi teh hangat didepanku dan meminumnya. Mataku terus memandang langit barat dengan senja berwarna oranye yang sedari tadi memenuhi ufuk barat. Aku menyandarkan tubuhku pada kursi.
'Ya Tuhan mengapa begini?' Aku memejamkan mata kemudian bersenandung lirih. Entah musik dari mana yang kudengar. Yang jelas aku sangat menikmatinya. Perlahan tanganku bergerak mengambil pinsil yang sedari tadi menganggur di depanku. Kemudian pinsil itu mulai kugoreskan pada sketbook yang kubawa. Aku tersenyum sesekali mengingat wajah pria yang ku gambar. Matanya yang bulat besar, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang imut. Ah tak lupa dia memakai kacamata juga jaket biru tua yang selalu ia pakai. Hm ia terlihat maskulin dengan pakaian seperti itu. Aku terlalu asik menggambar sketsa hingga aku tak menyadari sedari tadi telah berdiri seseorang dibelakangku. Menatapku yang sedang menggambar.
"Waw bagus sekali gambaranmu" ucapnya dengan kagum kemudian duduk di depanku.
"Eh itu…itu" ucapku terbata bata lalu menutup sketbook yang sedari tadi ada ditanganku.
"Gambar siapa sih? Coba lihat," ucapnya tiba-tiba lalu merebut sketbook dari tanganku.
"Jangan ituuu…" terlambat! Gerakannya terlalu cepat untuk kucegah. Aku hanya tertunduk lesu sambil menggigit bibir. Pasrah sudah.
"Hei ini kelihatannya seperti gambarku. Benarkah itu?" Ucapnya masih dengan senyum dibibirnya. Sambil membolak balikan lembar demi lembar dia mengamati semua gambar yang kubuat. Dia terlihat serius. Senyumnya menghilang. Tawanya sirna. Aku makin menundukan kepalaku. Tak tau harus memberikan alasan apa yang tepat untuknya. Tepat disaat lembar terakhir, terlihat gambarnya sedang tersenyum melihat hamparan langit jingga di tepi danau. Dia diam. Matanya melihat tulisan yang ada di bawah gambar dirinya 'untuk seseorang yang tak mungkin kuraih'
Dia menutup sketbookku. Wajahnya menatapku serius. Aku bisa mendengar tarikan nafasnya. Seolah dia sedang berdamai dengan dirinya sendiri. Aku hanya diam. Bibirku kelu. Lidahku membatu. Tak dapat berkata apa-apa.
"Sejak kapan Ra?" Tanya nya perlahan.
"Kenapa kamu gak pernah cerita? Kenapa kamu gak pernah bilang dari dulu?" Matanya menatapku nanar. Suaranya sarat akan penyesalan. Aku terdiam untuk beberapa saat. Mencerna kata-kata yang akan aku keluarkan.
"Maaf…" akhirnya hanya kata itu yang dapat keluar dari mulutku.
Dia menggeleng.
"Aku yang harusnya minta maaf. Aku gak pernah tau. Aku…"
"Sudah terlambat Dim. Kamu gak salah maafkan aku"
Hening. Tak ada yang berniat mengeluarkan kata-kata. Sunyi. Biarlah hening untuk sejenak. Mungkin itu akan lebih baik.
"Boleh aku tau sejak kapan?" Ucapnya kemudian. Aku hanya menggeleng. Bukannya aku enggan untuk menjawab pertanyaannya namun aku pun tak tahu sejak kapan rasa itu muncul. Sejak kapan aku mulai jatuh cinta terhadapnya. Perasaan itu mengalir begitu saja. Seperti air.
"Tolong jangan buat aku bingung." Ucapnya parau. Tangannya mulai menggenggam tanganku. Aku tak bisa menahan butiran air mata yang menyesaki mataku.
"Maaf. Tapi aku pun tak tau sejak kapan rasa ini muncul. Sejak awal aku mencintaimu aku tau bahwa rasa ini tak kan berbalas. Aku tau kau hanya menganggapku sebagai teman dan tak bisa lebih dari itu. Sampai akhirnya kau menemukan orang yang kau sayang dengan tulus."
Aku melihatnya terdiam. Matanya tertuju pada satu titik. Aku melihat kilatan di matanya. Jika aku tak salah sepertinya itu sebuah penyesalan.
"Maaf aku sudah membiarkanmu tau tentang hal ini. Maaf telah membuatmu begini. Tapi sungguh aku tidak apa-apa." Lanjutku. Dia masih terdiam dengan seribu beban yang ada pada matanya. Terlihat jelas dia bimbang. Aku menyerah dengan kebisuannya.
"Baiklah, kurasa aku harus pergi darimu. Aku gak mau kamu begini. Bimbang hanya karna memikirkan perasaanku yang tak berujung. Aku rasa sebaiknya aku pergi selamat tinggal dan terima kasih." Aku membereskan alat-alat gambar yang masih berserakan di depanku. Memasukannya dalam tas kemudia beranjak.
"Jaga diri baik-baik." Ucapku padanya sebelum pergi. Mungkin ini memang akhir dari kisahku. Tak apa, aku ikhlas. Kulihat dia masih mematung sampai aku berbalik, hendak untuk pergi meninggalkannya.
"Aku juga mencintaimu. Andai saja kau lebih cepat dan aku lebih awal mengetahui ini, mungkin tak perlu ada Naomi."

Juli, 2014

"Simple Thing Called Love" by Anna Triana

Judul          : Simple Thing Called Love Penulis       : Anna Triana Penerbit      : Elex Media Komputindo ISBN          : 978 - 602 - 0...