JNGGA

Sabtu, 07 Januari 2017

HISTRIONIK: SEBUAH SINDIRAN UNTUK KEADAAN JAMAN SEKARANG

poster HISTRIONIK


Siapa yang tidak mengenal handphone? Benda persegi panjang berukuran kecil yang dapat melihat dunia tanpa batas. Belum lagi berbagai aplikasi yang dihadirkan membuat kita memuja benda tersebut. Namun tau kah kalian jika melalui handphone, kita dapat lupa segala hal, mempunyai beribu dampak negative jika tidak digunakan dengan bijak. Seperti yang disampaikan oleh mahasiswa jurusan teater ISBI Bandung angkatan 2013 yang membawakan sebuah pertujukan HISTRIONIK guna memenuhi syarat salah satu mata kuliah Capita Selecta II Body Performance.

Banyak hal yang bisa saya ambil dari pertunjukan tersebut, salah satunya tentang potret kehidupan jaman sekarang, dimana semua hal harus berkaitan dengan media social. Sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari dimana orang yang hendak makan, pergi, berjalan-jalan bahkan sampai melihat orang yang kecelakaan pun tidak lepas dari handphone kemudian memotretnya dan mengunggahnya ke salah satu akun media sosial mereka. Ketika kebaikan dijadikan konsumsi publik, ketika politik dan agama bersentuhan dengan media social, semuanya terasa biasa namun sebenarnya janggal. Ketika semua manusia terkurung dalam benda kotak tersebut dan sulit untuk keluar, ketika semua orang mulai memaksakan hal yang seharusnya tidak bisa dipaksakan benar-benar merupakan sindiran untuk kondisi saat ini.

Menurut saya dan orang yang saya ajak untuk berdiskusi, Ganda Swarna, sang sutradara telah berhasil menghadirkan sebuah pertunjukan dengan tema yang biasa atau bisa disebut mainstream namun mampu mengemas tema tersebut menjadi suatu hal yang luar bisa. Hal ini terbukti saat awal sampai akhir pertunjukan.

Pertunjukan di mulai dengan adanya 2 kelompok manusia, satu kelompok hitam dan satu lagi kelompok orang dengan tingkat bojuis tinggi. Mengapa saya menyebutkan kelompok borjuis? Hal ini di gambarkan dengan kostum mereka yang hanya mengenakan baju dengan potongan sexy layaknya kaum-kaum anak muda yang hidupnya tidak lepas dari dugem, media social dan dunia maya. Mereka sibuk menari di tengah gemerlap lampu klubing dengan memainkan media social. Dari sana, saya dapat mengambil kesimpulan, jika inilah potret anak muda masa kini yang menghalalkan hal-hal seperti itu, dimana klubing, pakaian sexy dan alcohol merupakan hal yang wajar dan dengan bangga memamerkannya di akun social medianya. Mungkin dalam hal ini, sang sutradara ingin mengambil contoh kasus Awkarin dan Anya Geraldine yang tengah viral dalam dunia maya. Hidup penuh drama namun terlihat biasa saja di media social. Kebalikan dari kaum borjuis, ada kaum yang memakai baju hitam. Dalam awal pertunjukan digambarkan seorang kaum hitam tengah memainkan handphonenya dan melihat beberapa aplikasi yang dia punya. Memamerkan isi line, bbm, Ig dan sebagainya, hidup hanya mencari like dan komentar. Dimana semua yang di upload hanya untuk mencari like dan komentar. Hidup dalam drama, candu akan memamerkannya dalam dunia maya.

Tidak lama, muncul kaun wanita berhijab dengan pakaian yang ketat dan terbilang jiplak. Sibuk 
melakukan promosi di media social guna mengajak manusia untuk berhijab. Menurut saya, hal ini pun merupakan suatu sindiran untuk orang-orang jaman sekarang yang (maaf) menggunakan hijab tapi berpakaian ketat, berpakaian namun tidak seperti berpakaian. Memamerkan segala kebaikan yang dilakukan guna mendapat pujian. Menurut pendapat saya, sang sutradara ingin menunjukan karakter orang-orang yang merasa benar dalam segala hal, merasa benar dengan dirinya namun justru salah. Saat kaum hijab memakainkan baju hijab nya pada kaum hitam dan hampir semua kaum hitam mengikutinya, merukapakan suatu sindiran jika di jaman sekarang orang hanya mengikuti apa yang menjadi trend terutama dalam hal fashion. Walaupun disini saya tidak menganggap semua orang demikian, namun itulah yang saya tangkap dari pertunjukan tersebut. Dimana hijab dijadikan fashion namun tidak sesuai dengan syariat islam.

Selanjutnya muncul beberapa kelompok dengan menggunakan pakaian serba putih menyerupai ustad. Ini pun menjadi suatu yang menarik karena kemunculan mereka benar-benar tidak terduga, muncul dari pintu masuk penonton kemudian naik ke atas panggung. Di atas panggung, mereka menari dengan ekspresi yang lucu yang membuat para apresiator tertawa. Hal ini menjadi bahan diskusi yang serius dengan seseorang yang duduk di sebelah saya dengan paradigma yang berbeda karena momen yang menunjukan ambiguitas.

Menurut teman diskusi saya, mengatakan jika hal itu merupakan suatu pembodohan, dimana sosok ulama dijadikan bahan tertawaan. Apalagi ketika kaum politik datang, saat mereka datang meneriakan nama Indonesia yang dibalas dengan takbir oleh kaum ulama menjadi bahan tawaan para apresitor. Namun disini, saya mencoba mengkaji hal itu. Ada dua makna atas tertwanya sang apresiator, yang pertama adalah mereka tertawa karena menertawakan orang memerankan tokoh tersebut karena disana mengenal mereka secara pribadi, ketika sedang tidak berperan. Namun, bisa juga sang sutradara sengaja membuat image tokoh ulama dijadikan lucu dan untuk ditertawakan, terlebih saat mereka menarikan sebuah tarian dengan mimic muka yang lucu. Mungkin saja, sang sutradara ingin menampilkan image tersebut dan menghubungkan kejadian itu dengan keadaan saat ini, dimana ketika para tokoh agama memasuki dunia media social menjadi bahan tertawaan, bahkan dianggap angin lalu. Kenapa demikian? Karena orang yang memberikan tausyiah tidak semuanya memiliki pribadi yang baik dan bahkan mereka berbicara kebaikan namun tidak hal nya dengan apa yang dia juga lakukan. Ini juga dapat dihubungkan dengan kondisi saat ini yang mungkin orang sudah menganggap agama adalah satu hal yang tidak penting. Sangat menarik untuk di bahas, menurut saya. Dan saat kaum politik berseru sekencang-kencangnya tentang NKRI namun pada kenyataannya nol belaka. Ketika agama dan politik disatukan dalam bingkai media social, menjadi akibat yang buruk, saling hina, saling mencari kebenaran, menyalahkan yang benar, membenarkan yang salah. Hal unik berikutnya adalah saat datangnya dua orang, satu dari kaum borjuis dan satu lagi dari kaum hijab yang mereka berada di belakang kedua kaum tersebut. Saat seorang kau borjuis berada di belakang kaum ulama dan saat kaum hijab berada di belakang kaum politik. Saling serang, saling menunjukan kekuasaan. Mencari dukungan dengan kaum yang lebih kuat. Menurut tafsiran saya, ini merupakan satu symbol dimana segala hal yang buruk jika dicambur dengan agama menjadi wangi dan tidak tampak salah. Ketika semua orang berlomba-lomba memberika tausiyah, merasa paling benar namun sebenarnya tidak. Saya sempat berpikir, sutradara ingin menyangkutkan kasus ahok dengan para umat Islam, namun karena ini merupakan satu hal yang sangat sensitive, jadi sutradara hanya memperlihatkan garis luarnya saja.

Terakhir adalah saat semua kaum berkumpul dengan ciri khas masing-masing. Saat semua orang memamerkan ponsel mereka dan sibuk dengan gadget mereka, ketika semua hal butuh gadget dan tidak bisa hidup tanpa gadget. Kita semua menjadi seperti boneka yang diatur oleh gadget. Saat ponsel dan gadget menjajah tubuh kita tanpa ampun, menjajah diri kita dan menjadikan manusia hanya berpusan pada ponsel dan gadget, bahkan untuk ibadah saja terkadang manusia melalaikannya akibat bermain ponsel. Terakhir, mereka semua bangun kemudian sang sutradara menyisipkan ringtone bbm dan line juga fenomenal yang begitu viral OM TELOLET OM. Menurut saya , hal ini juga menarik, mungkin sutrada ingin menyampaikan hal dimana semua hal-hal kecil menjadi viral akibat media social, salah satunya tentang kejadian OM TELOLET OM. Dan terakhir ditutup dengan sebuah video wawancara dengan orang-orang pengguna handphone dan semua kebiasaaan yang dilakukan dengan handphone.

Sungguh suatu hal yang menarik dan banyak yang bisa saya ambil dari pertunjukan HISTRIONIK malam tadi. Sebuah tamparan bagi saya, selaku orang yang tidak bisa hidup tanpa ponsel untuk menjadi orang yang lebih bijak dalam menggunakan handphone. Itulah review dari saya dan obrolan setelahnya dengan partner diskusi semalam dari pertunjukan HISTIONIK, semoga kita semua bisa mengambil pesan moral yang hendak disampaikan oleh para seniman ISBI, akhir kata saya ucapkan terima kasih dan maaf bila ada tafsiran yang salah, karena saya menafsirkan makna pertunjukan semalam secara bebas. Mohon dimaafkan juga bila ada salah-salah kata atau perkataan yang menyinggung pembaca, akhir kata saya ucapkan terima kasih dan SALAM APRESIASI!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Simple Thing Called Love" by Anna Triana

Judul          : Simple Thing Called Love Penulis       : Anna Triana Penerbit      : Elex Media Komputindo ISBN          : 978 - 602 - 0...