Oke, kali ini saya akan sedikit bercerita tentang pengalaman saya pergi
ke kota gudeg, Yogyakarta seorang diri. Oke.. oke, sebenarnya tidak
sepenuhnya sendiri, ketika sampai kota tujuan, saya ditemani oleh beberapa
teman yang memang berjanji untuk bertemu disana.
Dimulai dengan perencanaan bersama
ketiga teman, kami berencana untuk pergi berlibur ke kota Jogja pada tanggal
15-18 Maret 2018 dari tempat yang berbeda. Saya yang berangkat dari Bandung dan
mereka yang berangkat dari Banten dan Jakarta. Kebetulan, satu teman kami sudah
berada di Jogja sejak lama karena dia sedang melanjutkan kuliahnya di UII Jogja
jurusan Psikologi (mantep nggak tuh?!).
Singkat cerita, saya berangkat dari
Bandung pukul 05.35 menggunakan kereta ekonomi Pasundan dari stasiun
Kiaracondong dengan harga tiket 94.000 (seklain promosi). Saya bersiap pukul 04.00 pagi dan mulai
memesan Grabbike untuk mengantarkan ke stasiun tujuan. Berbekal doa, saya
pamit pergi kepada kakak agar dilancarkan dan diberikan keselamatan sampai
tujuan.
Ada rasa takut juga resah mengingat ini merupakan pengalaman pertama saya
bepergian jauh seorang diri. Bagaimana tidak, biasanya tempat terjauh yang saya
lalui adalah Garut, itu pun pergi berdua bersama teman. Pernah saya bepergian
ke Tasikmalaya, dan itu pun bersama teman kampus dalam acara study tour, sama sekali bukan untuk
berlibur apalagi traveling.
Pengalaman berangkat ke Jogja seorang diri untuk berlibur baru benar-benar
saya alami kali ini. Berbagai pikiran buruk selama perjalanan masih terus
menghantui saya. Percaya atau tidak, saya tidak berani memposting bukti tiket
kereta di instastory karena salah
satu teman saya ada yang indigo, dan saya takut dia mengeluarkan kata-kata yang
tidak dimengerti maksudnya, sehingga membuat diri ini resah dan tidak yakin
untuk pergi. Jika hal itu terjadi, biasanya saya akan membatalkan keberangkatan
secara mendadak. Namun, Alhamdulillah,
Tuhan merestui kepergian saya ke kota Gudeg dengan melancarkan segala
urusannya.
Singkat cerita, ketika sampai di stasiun
Kiacaracondong, saya duduk di gerbong satu, kelas ekonomi nomor 5E. Kala itu,
kursi yang saya duduki kosong, tidak ada penumpang lain selain saya, dan tentu saja
saya memilih kursi yang paling dekat dengan jendela. Karena selain mudah untuk
men charge handphone, saya juga lebih
leluasa melihat pemandangan yang menakjubkan di luar sana. Berbekal taro, pop
mie dan juga air panas yang saya masukan ke dalam termos kecil, diri ini mulai
duduk dengan tenang. mengabari kakak dan beberapa teman untuk memberitaukan
jika saya sudah sampai di stasiun dan siap berangkat.
Dan tidak butuh waktu lebih lama lagi, kereta perlahan berangkat
meninggalkan stasiun Kiaracondong. Saya pun mulai mengambil ear phone, memasangkannya di handphone dan telinga. Saya memilih
beberapa lagu yang terdengar enak untuk didengarkan pagi hari.
Pilihan saya jatuh pada lagu Merah
milik Efek Rumah Kaca yang menjadi lagu pembuka dalam trip pertama saya keluar
provinsi. Ketiadaan matahari membuat saya tidak bisa menikmati pemandangan yang
hadir di depan mata. Saat itu hanya terlihat langit yang membiru dan pohon-pohon
yang masih berwarna hitam seperti sebuah siluet.
pemandangan stasiun Kiaracondong pukul 05.30
Ya kira-kira seperti itulah
pemandangan yang saya lihat ketika akan berangkat kesana. Selama beberapa menit
saya tenggelam dengan pikiran-pikiran yang berada di kepala. Kali ini, ditemani
lagu Mengejar Matahari milik Ari Lasho, saya melihat pemandangan perumahan
kumuh, dengan rumah yang berdempet juga tempat yang tidak luas. Saya berpikir, bagaimana
bisa mereka hidup tenang seperti seharusnya jika setiap harinya bahkan setiap
menit mereka harus mendengar suara gemuruh kereta api? Belum lagi hiruk pikuk
lalu lintas dengan berbagai aktivitas yang membuat saya bergidik. Belum apa-apa
kemacetan sudah hampir terlihat, hiruk pikuk orang-orang yang akan pergi sekolah
juga para orang dewasa yang hendak pergi bekerja. Dan yang lebih menyesakkan
bagi saya adalah, ketika semua manusia yang saya lihat menggunakan motor! Pantas
saja saat ini kota Bandung didaulat sebagai kota paling macet kedua setelah
Jakarta. Tidak cukup sampai disitu, asap knalpot kendaraan pribadi juga
angkutan umum memenuhi udara pagi yang seharusnya terlihat segar.
Tidak ingin melihat pemandangan yang
lebih menyesakkan, saya pun memejamkan mata, menikmati lagu Tarintih milik
Barasuara membuat saya tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti tadi. Untuk sebuah
perjalana cukup panjang, handphone dan
earphone adalah dua benda penting
yang harus saya bawa, karena saya tidak terlalu suka berbicara saat sedang
dalam perjalanan. Saya lebih suka mendengarkan musik dan mengamati pemandangan
yang saya lihat diluar jendela. Karena bagi saya, hal itu bisa membangkitkan
imajinasi-imajinasi saya yang akhirnya dirangkai dalam sebuah inspirasi dan dituangkan
kedalam sebuah tulisan, seperti yang sedang saya lakukan saat ini.
Oke, next! Singkatnya, setelah disuguhi oleh pemandangan tempat-tempat
kumuh, saya mulai membelalakan mata dan merasa bahagia. Bagaimana tidak, ketika
apa yang ingin kamu lihat, sekarang terpampang jelas di depan mata. Ya pemandangan
indah yang menakjubkan. Saat itu, saya telah memasuki kawasan Garut dan
matahari sudah mulai menyinari bumi. Cahayanya yang perlahan menembus melewati
pepohonan dan gunung yang berdiri tegak membuat saya kagum. Belum lagi saat itu
pemandangan rombongan burung-burung yang terbang bebas membuat saya semakin
melebarkan bibir untuk tersenyum. Tidak bisa saya lukiskan keindahannya, dan
saya pun tidak sempat mengabadikan momen tersebut melalui kamera handphone karena saya tidak mau
menyia-nyiakan pemandangan yang sangat indah –yang tertangkap oleh mata- dengan
berkutat pada benda pipih berukuran 10x5 bernama gadget.
Lagu-lagu milik Efek Rumah Kaca,
Tigapagi, Barasuara, Sore dan yang lainnya berputar silih berganti, seiring
dengan hadirnya pemandangan indah yang bisa saya nikmati. Mata saya begitu
termanjakan ketika melihat sebuah pemandangan dengan objek utama gunung yang
berwarna keemasan karena tersinari cahaya matahari. Jujur saja, belum pernah
saya menikmati matahari pagi dengan pemandangan indah di kota orang, terlebih
saat saya menikmatinya sendirian. Sudah lama juga saya tidak menikmati mentari
pagi yang perlahan menyinari bumi dengan suara cicitan burung sebagai
pengantarnya.
Terakhir saya merasakan hal itu adalah ketika saya berumur lima tahun, di
sekitar rumah ditemani Alm. Ayah. Pernah juga beberapa kali saya menikmati
mentari pagi dengan udara yang masih terasa segar sendirian di depan rumah
dengan duduk di atas sepeda ketika berumur lima tahun, beberapa saat setelah
ayah pergi bekerja. Dan itu menjadi momen yang tidak terlupakan dimana polusi
udara masih minim, juga perumahan yang ada belum bertingkat tinggi. Saat itu
langit berwarna biru dengan guratan awan yang cerah disinari mentari pagi. Dan
setelahnya saya akan mendatangi rumah teman untuk bermain sepeda sampai pukul
10.00 sebelum akhirnya mandi dan bermain di salah satu rumah teman. Saya merasa
sedih, hampir saja air mata ini menetes mengingat, jaman sekarang, jarang
sekali bisa menikmati udara pagi yang masih segar dan pemandangan alam yang
begitu indah. Butuh kesadaran yang begitu tinggi untuk menyadarkan orang-orang
agar bisa menjaga alam dengan baik, agar menjaga apa yang ada untuk tetap ada,
apa yang indah untuk tetap indah.
Dan sekali lagi saya takjub dan ingin menangis saat melihat sebuah gunung
berdiri tegak menantangan. Di depan gunung itu terdapat hamparan rumput hijau
yang begitu menyejukkan, masih disinari cahaya mentari berwarna keemasan. Saya pun
kembali takjub atas salah satu karya Tuhan yang begitu memukau. Rasanya mata
ini begitu bersyukur masih diberi kesempatan untuk melihat hal-hal indah yang
diberikan Tuhan, rasanya mata ini begitu bersyukur masih diberi kesempata untuk
menikmati karya Tuhan yang begitu luar biasa.
pemandangan alam daerah Garut, Jawa Barat
Setelah itu, saat kereta maju beberapa meter, pemandangan selanjutnya
membuat saya kembali takjub. Bahkan saya berpendapat jika pemandangan ini
adalah pemandangan yang paling indah yang saya temui. Dengan objek yang sama,
sebuah gunung yang berdiri tegak juga disinari mentari, kali ini hamparan yang ada
bukanlah rumput, melainkan seperti sebuah ladang jagung yang sudah memerah, sebenarnya
saya tidak begitu yakin itu ladang jagung yang memerah atau padi yang menguning,
yang jelas pemandangan yang dihadirkan begitu indah dan tidak terlupakan.
pemandangan di daerah Garut, Jawa Barat
Ditemani lagu Menjadi Indonesia milik Efek Rumah Kaca, saya menikmati Mahakarya
Tuhan karena telah menciptakan segala sesuatunya dengan penuh perhitungan,
antara keindahan juga makna yang terkandung didalamnya. Semuanya sudah Tuhan
rencanakan sejak awal, sudah Tuhan perhitungkan baik dan buruknya. Dan saya
tidak henti-hentinya untuk bersyukur sebagai bangsa Indonesia terlebih orang
Sunda (masyarakat Jawa Barat) karena semua pemandangan indah yang disuguhkan
berada di kawasan Jawa Barat. Untuk sekian kalinya saya tertegun oleh
Mahakarya-Nya. Saya mulai berpikir, selama ini, manusia terlalu sombong dengan
apa yang dia miliki, si A bisa melukis indah, si B jago berhitung fisika, si C
jago dalam perhitungan kimia dan matematika, tapi kita tidak pernah sedikitpun merasa
jika ada yang mempunyai kemampuan “lebih” selain dirinya, ada yang “lebih” baik
dalam segala al selain dirinya. jangankan untuk merasa kecil, berterima kasih
kepada Tuhan sang Maha Pencipta pun sepertinya tidak. Padahal berterima kasih
kepada Tuhan bukanlah hal berat untuk dilakukan.
Hal ini saya alami ketika membaca salah satu novel fiksi, dimana karakter
tokohnya sangat bagus dan membuat saya jatuh cinta berkali-kali. Bukan hanya
itu, saya juga memujinya berkali-kali atas karakter yang dia miliki. Tapi pernahkah
kita sedikitpun berterima kasih kepada pengarang novel tersebut karena telah
menciptakan cerita juga karakter yang begitu epik dan mengagumkan? Biar saya
tebak, jawabannya adalah jarang, bahkan hampir tidak pernah. Padahal jika kita
ingin memuji, justru pengarangnya lah yang paling pantas kita puji. Kenapa? Karena
dia yang menciptakan segalanya, dia yang memperhitungkan karakter juga jalan
cerita sebuah karya fiksi sampai akhirnya bisa diterima di masyarakat. Tanpa pengarang,
tokoh tersebut tidak akan menarik dimata pembaca bahkan mungkin tidak pernah
ada.
Begitu juga yang terjadi kepada manusia, pernahkan kita mengucapkan
terima kasih kepada Tuhan untuk semua hal yang dia ciptakan, untuk hal-hal
kecil yang Dia ciptakan? Mungkin jawabannya sama, jarang dan hampir tidak
pernah. Selama ini kita sering bersyukur atas apa yang terjadi dan berhubungan
dengan kita, semisal, ketika kita mendapat pekerjaan bagus atau gaji yang cukup
untuk hidup satu bulan, atau ketika kita ingin sesuatu dan dengan mudah Tuhan
mengabulkannya, kita pasti berterima kasih akan hal itu. Namun pernahkah kita
berterima kasih untuk hal-hal sepele seperti, kemampuan yang kita miliki? Misalnya
jika kamu jago melukis, pernahkah kita berterima kasih pada-Nya karena Dia
telah memberikan kemampuan itu untuk kita? Atau ketika kita diberikan kelebihan
jago dalam hal fisika, kimia atau matematika, pernahkah kita bersyukur pada
Tuhan karena Dia telah memberikan kemampuan itu pada kita? Mungkin jawabannya
jarang atau bahkan hampir tidak pernah. Padahal jika kita pikirkan, kita
sebagai manusia hanya akan menjadi seonggok daging yang tidak berguna jika
Tuhan tidak memberikan kemampuan kepada kita sedikitpun, mungkin kita tidak
akan pernah dilihat bahkan mungkin tidak akan pernah ada di dunia ini.
Dan saya harus kembali menahan air mata untuk tidak jatuh (emang dasanya
saya baperan fufu) saat kereta berhenti di stasiun Cibatu, Garut. Saat itu,
datanglah seorang bapak-bapak dengan sekotak kardus juga tas selempang di
tubuhnya. Dia duduk tepat di depan saya. Kami sempat saling senyum dan
bertanya. Kebetulan saat itu saya sedang membuat pop mie karena merasa lapar. Setelah
sempat saling senyum, saya dan si Bapak sempat berbicara sebentar. Dia sempat
bertanya tujuan saya begitupun sebaliknya. Lewat obrolan itulah saya tau,
tujuan si Bapak adalah Surabaya, untuk bekerja (saya lupa si bapak pergi ke Surabaya
untuk bekerja atau berjualan, yang jelas bukan untuk berlibur).
Kembali hati ini teriris mengingat pertanyaan sebelumnya yang di
lontarkan si Bapak. Kala beliau bertanya hendak kemana dan tujuan saya pergi. Saya
menjawab seadanya bahwa tujuan saya ke Jogja untuk berlibur. Disitulah diri ini
merasa tertampar, ketika saya hanya bisa pergi ke luar provinsi untuk berlibur,
di belahan dunia (okey ini lebay) lain seseorang hendak pergi ke luar provinsi
untuk bekerja, mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Jika saja saya tidak
malu, mungkin saat itu saya sudah menangis mengingat Alm. Ayah saya yang
mungkin akan melakukan hal yang sama. Bekerja apapun dan kemanapun asalkan anak
dan istrinya bisa bahagia, bisa makan dan segala hidupnya tercukupi.
Dan saya semakin sedih saat beberapa lama, si bapak mulai mengeluarkan
nasi bungkus untuk sarapannya. Saya perhatikan secara diam-diam (emang dasarnya
aku kepo), si bapak makan dengan nasi dan ayam. Pikiran saya mulai berkeliaran
memikirkan hal yang mungkin fiksi (emang aku tukang ngayal!) seperti ini, dengan
penuh cinta dan keringat si istri menyiapkan bekal untuk si bapak, disiapkannya
baju kaus lusuh dengan celana panjang juga topi untuk menghalau si bapak dari
sinar matahari yang terik. Tidak hanya itu, si istri juga menyiapkan perbekalan
untuk dibawa ke Surabaya. Dengan penuh hormat dan santun, si istri mencium
tangan sang bapak yang hendak pergi mencari nafkah untuk menghidupi
keluarganya.
Oh Tuhan, begitu besar dan berat peran seorang ayah untuk anak dan
istrinya. Mungkin hal ini juga yang pernah dialami oleh Alm. Ayah saya untuk
keluarganya. Bekerja banting tulang siang dan malam asalkan kebutuhan
keluarganya terpenuhi. Tidak perduli dengan rasa kantuk, tidak perduli dengan
rasa lelah, yang penting anak dan istri bisa hidup dengan layak.
Pelajaran baru yang bisa saya ambil dari pertemuan saya dengan si bapak,
jika hidup itu harus kita syukuri, janganlah sekali-kali mengeluh tentang hidup
karena di luar sana, masih banyak orang-orang yang hidup tidak lebih beruntung
dari kamu, bahkan mungkin hidup yang kamu keluhkan adalah hidup yang orang lain
idam-idamkan. Dan juga janganlah sekali-kali kamu meremehkan orang tua, karena
kamu tidak akan pernah tau serjuangan seperti apa yang mereka lakukan untuk
menghidupi kamu. Sayangilah kedua orang tua sebagaimana mereka mengasihi kamu,
hormatilah kedua orang tua karena tanpa mereka, kamu tidak akan pernah hidup,
kamu tidak akan pernah ada di dunia ini (tuh dengerin buat adek-adek yang masih
sekolah ga bener, dateng ke sekolah malah ngobrol dan niali jeblok terus
padahal orang tua kalian banting tulang mengusahakan agar kalian bisa sekolah).
Setelah obrolan selesai, kami berdua tenggelam dalam lamunan
masing-masing. Saya dengan tetap melihat pemandangan di luar dan si bapak mulai
jatuh tertidur. Dan untuk semua hal yang saya alami, saya bersyukur jika Tuhan
masih memberikan saya kesempatan untuk “melihat” hal-hal yang jarang terlihat. Merasa
takjub luar biasa ketika berpuluh-puluh kali diberikan pemandangan alam yang
sangat luar biasa. Disuguhkan pemandangan seorang kakek yang cukup berumur
masih semangat bekerja mencari rumput untuk mekanan hewan ternak. Dengan menggunakan
sepatu boots di atas gunung beliau
masih semangat dan tersenyum kepada saya saat kereta ini melintas melewatinya. Atau
ketika beberapa kali saya melihat matahari yang perlahan muncul di celah-celah
gunung, dengan malu-malu dia menampakkan sinarnya yang membuat satu garis tak
terlupakan. Semua perjalanan menuju Jogja tidak akan pernah saya lupakan. Karena
apa yang saya lihat mungkin tidak akan pernah sama di masa depan. mungkin saja
pemandangan lahan perkebunan, sawah dan pegunungan yang saya lihat akan menjadi
sebuah perumahan mewah dikemudian hari, atau mungkin menjadi vila-vila dengan
gaya etnik di atas gunung. Entahlah yang pasti saya tidak ingin mengingat
kemacetan kota, hiruk pikuk orang-orang juga asap knalpot dan pabrik yang harus
saya terima sampai tua nanti. Bagi saya perjalanan ini sungguh menyenangkan dan
banyak menampar saya sebagai manusia yang masih belum menjadi apa-apa.
Itulah beberapa hal yang saya alami ketika menaiki kereta tujuan Bandung-Jogja.
Selebihnya, perjalanan saya terasa biasa karena mulai memasuki kawasan
perkotaan. Ditambah lagi hari yang mulai terik, membuat pemandangan yang saya
lihat tidak semenakjubkan ketika matahari mulai hadir. Terakhir, ketika sampai
distasiun Lempuyangan, saya pun berbenah untuk bersiap-siap turun. Mengambil tas
jinjing yang disimpan kolong kursi dan menggendong tas yang sejak tadi berada
di saping kanan saya. Terakhir saya pamit kepada si bapak, dia pun mengangguk
namun raut mukanya masih sama seperti pertama kali bertemu, terlihat kaku tanpa
ekspresi. Saya pun berdiri dan menunggu kereta berhenti setelah pamit. Di depan
saya, saya kembali tertampar saat ada segerombolan ibu-ibu yang hendak turun
seperti saya, sebelum berpisah mereka bersalaman dan saling meminta maaf jika
ada salah-salah kata dalam berucap. Ya, saya tidak bersalaman dengan si bapak,
saya hanya pamit kemudian bergegas berdiri. Tidak sepatah kata pun kata maaf
keluar dari mulut saya untuk si bapak. Jujur saja, saya canggung dan malu
ketika ingin bersalaman dan meminta maaf, sadar karena selama perjalanan kami
hanya diam dan si bapak lebih banyak tidur, mungkin akan terlihat aneh jika
saya meminta maaf, walaupun sampai sekarang saya menyesal.
Keriuhan orang-orang yang hendak turun pun menjadi pertimbangan saya
untuk segera berdiri tanpa berpikir panjang (namanya juga baru pertama naik
kereta ke tempat jauh, saya kira ketika pengumunan kereta akan tiba di stasiun
berikutnya, itu beneran bakal langsung berenti terus turun, padahal masih harus lewatin stasiun tugu dulu, halah).
Padahal tidak ada salahnya untuk meminta maaf pada si bapak, mengingat mungkin
saja ketika si bapak tertidur dan ketika saya mencoba merubah posisi kaki, kaki
saya tidak sengaja menyenggol si bapak atau apa saja (yang ini fix beneran
kepikiran).
Namun kembali lagi, saat itu keadannya mengharuskan saya untuk segera
bersiap. Saya pun akhirnya turun dengan mendoakan si bapak semoga rejekinya
lancar dan sehat selalu di dalam hati yang di tutup dengan kata amin.
Mungkin Tuhan memberikah beberapa seperti itu untuk “mengingatkan” saya
agar lebih bisa memaknai hidup, bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan. Percayalah,
bahwa apa yang diberikan Tuhan adalah hal yang paling baik untuk kita. Semoga kita
semua bisa mengambil hikmah dari apa yang saya ceritakan. Amin.
Salam,
Tina Wiarsih
nb: maaf jika bahasa yang digunakan masih tidak terasa enak, dan maaf jika foto yang saya lampirkan kurang bagus dan menarik, karena selama perjalanan saya tidak begitu ingin mengabadikan momen dengan kamera handphone, cukup dengan mata kepala saja sudah memuaskan. Thanks :)