JNGGA

Jumat, 27 April 2018

Teh Terakhir


Seorang wanita terduduk di sudut ruangan. Matanya terus menatap ke luar jendela. Pandangannya kosong, rambutnya panjang terurai, pakaian yang ia kenakan sedikit berantakan ditambah kantung mata yang sangat ketara. Dihadapannya tersaji secangkir teh yang sejak tadi tidak terjamah oleh bibirnya. Setiap pagi dia datang kemari, memesan teh yang sama sekali tidak diminunya. Dia hanya terdiam, bergeming tanpa melakukan apa-apa sampai kafe ini tutup. Satu jam sekali, karyawanku harus menghampirinya untuk mengganti teh yang sudah dingin atas permintaannya.

Wanita itu terus melakukan hal yang sama sejak satu minggu yang lalu. Dan hari ini pun begitu. Seperti biasa, dia memesan secangkir teh dan meminta karyawan kami mengganti teh setiap satu jam sekali.

Satu jam….
Dua jam….

Wanita itu masih bergeming, memandang ke luar jendela. Saat jam ke lima,  ada sedikit perubahan pada apa yang dia tatap. Seorang pria berjalan hendak memasuki kafe ini yang terus diikuti oleh pandangan wanita itu. Semakin pria itu mendekati pintu, semakin jelas pula pandangnya terarah. Tatapannya tidak pernah melepaskan pria itu, bahkan saat dia memasuki ruang ganti dan kembali dengan mengenakan seragam seperti yang lain, tangannya membawa secangkir teh di atas nampan. Samar-samar kudengar pria yang tidak lain adalah karyawanku berbicara pada wanita itu.

“Ini teh mu. Teh terakhir,” ujarnya.
“Tolong, jangan pernah datang lagi. Aku harap kamu tidak melupakan kenyataan jika hubungan kita sudah berakhir.”

Dan saat itulah aku menyaksikan hal menyakitkan. Dengan berurai air mata, dia pergi meninggalkan tempat favoritnya. Meninggalkan sang pria yang masih memegang nampan dengan secangkir teh yang sudah hampir dingin.
***

Rampok


Detik malam tadi begitu cepat
Saat perampok itu masuk
Saat sebuah pistol di depan mata
Tolong... tolong.. tolong...
Orang orang datang berbondong
Membawa benda persegi panjang
Tipis, kecil, kerdil
“Tolong... tolong... tolong saya”
“Ada apa? Ada apa?”
“Saya di rampok.” Ucapku.
“Oh sebentar saya abadikan dulu.”

Pertemuan


/1990/
Aku mengambil sebuah benda berukuran 25cm x 17 cm. Ku buka setiap lembarnya, mengeja aksara demi aksara hingga membentuk satu kata yang bermakna. Satu kata, satu kalimat sampai satu paragrap ku cermati. Setiap lembarnya benar-benar mengalir berjuta makna dalam ratusan juta aksara. Di akhir pekan, sangat berguna untuk membangun topik obrolan yang menarik dengannya. Tak jarang dia tersenyum saat kuceritakan hal-hal menarik yang aku temui dalam benda tersebut. Ah aku menyukai ini, aku menyukai senyumnya, aku menyukai matanya yang bulat saat mendengar semua ceritaku.

“Aku akan kerumah, mengembalikan buku yang kupinjam, tepat pukul 7. Sampai jumpa nanti.” Dan selanjutnya, benda itu menjadi sebuah alasan untuk kami bertemu.

/2017/
Aku mengambil sebuah benda berukuran 17 cm x 7 cm. Ku tekan setiap icon, ku buka kotak-kotak kecil itu satu persatu. Tak jarang aku mengerakkan jari hingga terciptalah satu kata yang dibangun oleh beberapa aksara. Walau sederhana, namun mampu membuat kami tersenyum.

“Hai.” Dan semudah itu kami membangun topik dan merencanakan pertemuan.

***
Di malam minggu, saat kami bertemu, tidak banyak yang kami ceritakan. Masing-masing hanya tertunduk memainkan benda pipih tipis dengan berbagai informasi dan hiburan. Dia tertawa, tapi bukan karenaku. Matanya tersenyum melihat hal-hal konyol  yang disuguhkan benda tersebut. Dan keadaan ini berakhir saat terdengar bunyi nyaring dari benda tersebut. Dia menatapku, membuat jantungku berdebar dua kali lebih cepat. Akhirnya, setelah beberapa jam kami tidak saling bicara, kini kami akan mengalami kencan yang sewajarnya. Dan benar saja, dia tersenyum kemudian menarik tanganku, sampai aku berdiri.

“Ayo pulang, baterai ponselku habis.” Dan semudah itu dia kembali membuatku kecewa.

***

“Putih”: Dua Fase yang Dialami Manusia dan Pasti Akan Terjadi


 Baiklah, kali ini saya datang kembali membawa review tentang satu lagu yang ada dalam playlist ponsel. Lagu ini berjudul Putih yang dinyanyikan oleh grup band indie asal kota Jakarta, Efek Rumah Kaca.

Lagu Putih berada pada album ketiga yang diberi nama Sinestesia dan rilis sekitar tahun 2015. Lagu ini berdurasi selama 9 menit 46 detik dengan memiliki dua sub judul yaitu Tiada (untuk Adi Amir Zainun) dan Ada (untuk Angan Senja, Rintik Rindu dan semua harapan di masa depan).

Untuk kalian yang masih bingung dengan lagu ini mengapa memiliki dua judul, saya akan terangkan sedikit. Album Sinestesia ini merupakan album yang sedikit berbeda dengan album-album sebelumnya, dimana pada album ini hanya memiliki enam lagu saja dengan judul Merah, Biru, Jingga, Hijau, Putih dan Kuning. Dan pada setiap judul lagu, memiliki sub-judul dua sampai tiga sub. Untuk itu, durasi pada setiap lagu di album ini terasa panjang dan mungkin menimbulkan kebosanan. Namun saya pribadi sangat menikmati dengan hal itu, sama sekali tidak menimbulkan kebosanan karena dalam setiap judul, memiliki tema yang berbeda, seperti hal nya yang terjadi pada lagu Kuning. Tema yang dihadirkan oleh lagu ini adalah keberagamaan, dan setiap sub judulnya pun membahas tentang agama dan kebebasan dalam memeluk setiap agama yang dianutnya. Begitu pun yang terjadi pada lagu Putih. Mengambil tema kehidupan dan kematian, lagu ini terasa sangat epik dan luar biasa.

Baik, saya akan mulai mencoba mereviewnya…
Dimulai dari lagu yang berjudul Tiada, begini liriknya:

Tiada (untuk Adi Amir Zainun)

Lirik        : Adrian dan Cholil
Lagu       : Adrian dan Cholil

Saat kematian datang
Aku berbaring dalam mobil ambulan
Dengar, pembicaraan tentang pemakaman
Dan takdirku menjelang
Sirine berlarian sahut-sahutan
Tegang, membuka jalan menuju Tuhan
Akhirnya aku usai juga

Saat berkunjung ke rumah
Menengok ke kamar ke ruang tengah
Hangat, menghirup bau masakan kesukaan
Dan tahlilan dimulai
Doa bertaburan terkadang tangis terdengar
Akupun ikut tersedu sedan
Akhirnya aku usai juga
Oh, kini lengkap sudah

Dan kematian keniscayaan
Dipersimpangan atau kerongkongan
Tiba-tiba datang atau dinantikan
Dan kematian kesempurnaan
Dan kematian hanya perpindahan
Dan kematian awal kekekalan
Karena kematian untuk kehidupan
Tanpa kematian….

Kabarnya, lagu ini ditulis untuk mengenang salah satu teman dekat para personel Efek Rumah Kaca yang bernama Adi Amir Zainun. Dan katanya, sosok Adi ini meninggal pada saat proses pembuatan lagu ini.

Baiklah, sekarang coba kita lihat bait demi bait.
Sangat jelas jika lagu itu menceritakan tentang kematian. Tidak ada yang menarik? Baik, saya jelaskan. Jika pada umumnya lagu yang menceritakan kematian dilihat dari sudut pandang kita yang masih hidup, lagu ini mencoba keluar dari “zona nyaman” nya, dimana Cholil dan Adrian selaku pencipta lagunya, membalikkan sudut pandang tersebut. mereka mencoba membuat lagu tentang kematian dilihat dari orang yang mengalami kematian itu sendiri. Hal ini bisa dilihat pada bait pertama dan kedua, dimana diceritakan jika si Aku mengalami kematian dan dia melihat tubuhnya yang telah terbujur kaku terbaring di dalam mobil ambulan. Bukan hanya itu, si Aku pun mendengar suara sirine dimana ini merupakan ciri khas ambulan dan kematian juga mendengar orang-orang membicarakan tentang pemakaman, menbicarakan rencana untuk menguburkan si Aku ini. Dan seketika si Aku sadar jika dirinya telah meninggal, jika dirinya telah mengalami takdir yang paling pasti untuk setiap makhluk yang bernyawa. Si Aku pun merasa tegang ketika akan membuka jalan menuju Tuhan, ketika dia akan mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan semasa hidupnya.

Tidak hanya itu, diceritkan pula bagaimana si Aku mendengar suara tahlilan dan aroma masakan kesukaan ketika dia sampai di rumah nya. Tentu saja si Aku datang sebagai roh. Bagaimana si Aku bisa tersedu mendengar puluhan orang memanjatkan doa untuk dirinya yang sudah tiada, bagaimana dia tersedu-sedan menghadapi giliran untuk menghadap sang khalik dengan diantar oleh doa-doa dari keluarga dan kerabat dekat.

Pada bait terakhir, Cholil dan Adrian mencoba menceritakan atau memberi pesan untuk semua manusia yang masih hidup, bagaimana cara kematian datang.

Dan kematian keniscayaan
Dipersimpangan atau kerongkongan
Tiba-tiba datang atau dinantikan


Pada penggalan bait di atas, Cholil dan Adrian mencoba menjelaskan jika kematian bisa saja datang secara tiba-tiba atau dinantikan. Dalam hal ini, banyak terjadi kasus atau kejadian ketika manusia yang berumur masih muda harus mati karena kecelakaan. Tanpa melalui proses sakit atau apapun. Tiba-tiba meninggal padahal pagi hari atau sebelumnya terlihat sehat dan ceria. Juga bagaimana kematian menghampiri seseorang yang sudah berumur dengan melewati sakit yang cukup lama. Pada intinya, tidak ada yang tau kapan datangnya kematian kecuali sang Khalik, bisa secara tiba-tiba atau dinantikan, bisa tanpa persiapan atau pun sudah dipersiapkan.

Dan kematian kesempurnaan
Dan kematian hanya perpindahan
Dan kematian awal kekekalan
Karena kematian untuk kehidupan

Pada lirik ini pn, Cholil dan Adrian mencoba menjelaskan makna dari kematian itu sendiri. Mereka mencoba memberitaukan bahwa kehidupan ini tidak pernah abadi, dunia ini hanya sementara dan persinggahan yang mana kita akan memasuki kehidupan yang abadi dan kekal yaitu setelah kematian. Kita tidak akan pernah mati jika kita tidak hidup, begitu pun sebaliknya, kita tidak akan pernah hidup jika tidak mati. Kematian merupakan awal dari kehidupan yang kekal, kematian merupakan kesempurnaan yang dialami manusia. Kematian hanyalah perpindahan untuk menuju kehidupan yang sesungguhnya yang lebih baik dan lebih kekal. Jika kita tidak mati, maka hidup kita tidak akan pernah mempunyai makna, tidak akan pernah merasakan bagaimana rasanya hidup kekal dalam surga nya Allah karena bagaimana pun tujuan manusia untuk hidup adalah Surga, dan jika kita ingin tinggal di Surga, kita harus menghadapi kematian. Untuk itulah kenapa kematian disebut sebagai perpindahan, awal kekekalan dan tanda kita untuk memulai kehidupan.

Pada lagu kedua yang berjudul Ada merupakan kebalikan dari lagu Tiada, dimana lagu ini menceritakan tentang kelahiran atau proses kelahiran seorang manusia. Bagini liriknya:

Ada (untuk Angan Senja, Rintik Rindu dan

Lirik        : Cholil
Lagu       : Adrian, Akbar dan Cholil

Lalu pecah tangis bayi
Seperti kata Wiji
Disebar biji-biji
Disemai menjadi api

Selamat datang di samudra
Ombak-ombak menerpa
Rekah, rekah dan berkahlah
Dalam dirinya, terhimpun alam raya semesta
Dalam jiwanya, berkumpul hangat surga neraka

Hingga kan datang pertanyaan
Segala apa yang dirasakan
Tentang kebahagiaan
Air mata bercucuran

Hingga kan datang ketakutan
Menjaga keterusterangan
Dalam lapar dan kenyang
Dalam gelap dan benderang

Tentang akal dan hati
Rahasianya yang penuh teka teki
Tentang nalar dan iman
Segala pertanyaan tak kunjung terpecahkan
Dan tentang kebenaran
Juga kejujuran
Takkan mati kekeringan
Esok kan bermekaran

Kabarnya lagu ini ditulis saat Cholil dan Adrian baru saja memiliki putra dan putri pertamanya yang bernama Angan Senja dan Rintik Rindu. Dimana, Angan Senja merupakan nama dari seorang anak Cholil dan Rintik Rindu adalah nama seorang anak dari Adrian.

Jika saya lihat dan cermati, lagu ini menceritakan tentang proses kalahiran seorang manusia. Bagaimana rasanya ketika kelairan seseorang terlihat begitu dinantikan. Seketika diri kita akan terharu saat satu makhluk bernyawa dapat melihat dumia.

Hal itu terlihat dalam bait pertama…

Selamat datang di samudra
Ombak-ombak menerpa
Rekah, rekah dan berkahlah

Bait diatas menceritkan bagaimana seorang bayi lahir, untuk pertama kalinya melihat dunia dan datang ke dunia yang begitu luas. Dan ketika seorang bayi hadir, berbagai doa dan harapan pun terlontar, mengharapkan kebahagiaan untuk kehidupan sang bayi kelak, mengharapkan keberkahan untuk hidup nya di dunia. Dan setelahnya akan tiba saat nya rasa haru itu hadir, akan tiba saatnya untuk para orang tua berbahagia menyambut bayi yang selama ini dinantikan denga rasa haru juga air mata bahagia yang bercucuran.

Untuk bait selanjutnya, saya kira itu menceritakan tentang ketakutan setiap orang tua ketika mulai mengasuh atau mendidik sang anak, menjaga dan menghidupi sang anak dalam segala hal. bagaimana ketakutan orang tua dalam mendidik sang anak agar menjadi anak yang soleh, rajin, berbakti dan berguna bagi nusa dan bangsa. Dan bagaimana juga para orang tua mengajarkan hal yang tidak bisa diterima oleh nalar manusia, seperti yang ada dalam  bait ini.

Tentang akal dan hati
Rahasianya yang penuh teka teki
Tentang nalar dan iman
Segala pertanyaan tak kunjung terpecahkan


Saya rasa maksud dari bait itu adalah, masa dimana ketika sang anak tumbuh, akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab dan diterima oleh nalar dan akal pikiran. Untuk hal ini saya rasa, apa yang dimaksud adalah tentang keberagaaan atau hal-hal yang berkaitan dengan terbentuknya manusia, larangan dan aturan yang harus dipatuhi setiap umat manusia agar bisa meraih surga nya Allah. Disini peran orang tua sangat penting, mendidik anak dengan ajaran dan aturan agama agar sang anak menjadi anak yang selalu berada di jalan yang diridhoi Allah, atau lebih singkatnya, agar sang anak bisa mengimani rukun iman.

Kesimpulan dari lagu PUTIH menurut saya adalah, lagu ini memiliki ciri khas dan kekuatan yang berbeda dengan lagu lainnya. Bagaiman Efek Rumah Kaca mampu mengemas lagu dengan diksi yang sederhana namun memiliki makna yang dalam. Lagu ini memang bukan termasuk kategori lagu religi, tapi makna yang terkandung di dalamnya lebih dalam dari lagu-lagu religi yang pernah saya dengar.

Bagaimana cara kita mengimani kematian, mengimani kehidupan yang hanya sebuah persinggahan, dsb. Dan bagi saya pun, kedua lagu ini memiliki hubungan yang sangat erat kaitannya. Dimana ada kematian, disitulah ada kehidupan, begitupun sebaliknya. Kematian tidak akan terjadi jika tidak ada kehidupan, dan kehidupan tidak akan pernah terjadi jika tidak ada kematian. Banyak orang yang berpikir jika kematian adalah akhir dari segala nya, padahal pada kenyataannya, kematian adalah awal dari kehidupan yang kekal dan abadi. Kenapa kedua lagu ini ditempatkan pada satu tema? Jawabannya adalah, karena kematian dan kehidupan merupakan hal yang saling berkaitan, layaknya siang dan malam, pagi dan sore, kematian dan kehidupan pun merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dan kenapa lagu ini dimasukan ke dalam lagu dengan judul PUTIH? Simpelnya, putih adalah lambing dari kesucian, kematian dan kelahiran adalah hal yang suci, kita lahir dalam keadaan suci, putih bersih, dan kita pun mati memakai kain putih yang bersih dan suci. Tapi ya itu hanya pendapat dan terkaan saya pribadi terhadap lagu yang saya dengar, selebihnya mari kita kembalikan ke[ada pemilik dan pencipta lagu tersebut.

Sekian hal-hal yang bisa saya review untuk lagu PUTIH, semoga bisa diterima dengan baik oleh para pembaca. Mohon maaf untuk segala kekurangan saya dalam mereview lagu ini, dan terima kasih untuk orang yang sudah mau membacanya.

Salam,
Tina Wiarsih

Minggu, 08 April 2018

Trip to Jogja: Sebuah Perjalanan yang Sarat Makna (Part 1)



Oke, kali ini saya akan sedikit bercerita tentang pengalaman saya pergi ke kota gudeg, Yogyakarta seorang diri. Oke.. oke, sebenarnya tidak sepenuhnya sendiri, ketika sampai kota tujuan, saya ditemani oleh beberapa teman yang memang berjanji untuk bertemu disana.
            Dimulai dengan perencanaan bersama ketiga teman, kami berencana untuk pergi berlibur ke kota Jogja pada tanggal 15-18 Maret 2018 dari tempat yang berbeda. Saya yang berangkat dari Bandung dan mereka yang berangkat dari Banten dan Jakarta. Kebetulan, satu teman kami sudah berada di Jogja sejak lama karena dia sedang melanjutkan kuliahnya di UII Jogja jurusan Psikologi (mantep nggak tuh?!).
            Singkat cerita, saya berangkat dari Bandung pukul 05.35 menggunakan kereta ekonomi Pasundan dari stasiun Kiaracondong dengan harga tiket 94.000 (seklain promosi). Saya bersiap pukul 04.00 pagi dan mulai memesan Grabbike untuk mengantarkan ke stasiun tujuan. Berbekal doa, saya pamit pergi kepada kakak agar dilancarkan dan diberikan keselamatan sampai tujuan.
Ada rasa takut juga resah mengingat ini merupakan pengalaman pertama saya bepergian jauh seorang diri. Bagaimana tidak, biasanya tempat terjauh yang saya lalui adalah Garut, itu pun pergi berdua bersama teman. Pernah saya bepergian ke Tasikmalaya, dan itu pun bersama teman kampus dalam acara study tour, sama sekali bukan untuk berlibur apalagi traveling.
Pengalaman berangkat ke Jogja seorang diri untuk berlibur baru benar-benar saya alami kali ini. Berbagai pikiran buruk selama perjalanan masih terus menghantui saya. Percaya atau tidak, saya tidak berani memposting bukti tiket kereta di instastory karena salah satu teman saya ada yang indigo, dan saya takut dia mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti maksudnya, sehingga membuat diri ini resah dan tidak yakin untuk pergi. Jika hal itu terjadi, biasanya saya akan membatalkan keberangkatan secara mendadak.  Namun, Alhamdulillah, Tuhan merestui kepergian saya ke kota Gudeg dengan melancarkan segala urusannya.
            Singkat cerita, ketika sampai di stasiun Kiacaracondong, saya duduk di gerbong satu, kelas ekonomi nomor 5E. Kala itu, kursi yang saya duduki kosong, tidak ada penumpang lain selain saya, dan tentu saja saya memilih kursi yang paling dekat dengan jendela. Karena selain mudah untuk men charge handphone, saya juga lebih leluasa melihat pemandangan yang menakjubkan di luar sana. Berbekal taro, pop mie dan juga air panas yang saya masukan ke dalam termos kecil, diri ini mulai duduk dengan tenang. mengabari kakak dan beberapa teman untuk memberitaukan jika saya sudah sampai di stasiun dan siap berangkat.
Dan tidak butuh waktu lebih lama lagi, kereta perlahan berangkat meninggalkan stasiun Kiaracondong. Saya pun mulai mengambil ear phone, memasangkannya di handphone dan telinga. Saya memilih beberapa lagu yang terdengar enak untuk didengarkan pagi hari.
            Pilihan saya jatuh pada lagu Merah milik Efek Rumah Kaca yang menjadi lagu pembuka dalam trip pertama saya keluar provinsi. Ketiadaan matahari membuat saya tidak bisa menikmati pemandangan yang hadir di depan mata. Saat itu hanya terlihat langit yang membiru dan pohon-pohon yang masih berwarna hitam seperti sebuah siluet.

pemandangan stasiun Kiaracondong pukul 05.30

            Ya kira-kira seperti itulah pemandangan yang saya lihat ketika akan berangkat kesana. Selama beberapa menit saya tenggelam dengan pikiran-pikiran yang berada di kepala. Kali ini, ditemani lagu Mengejar Matahari milik Ari Lasho, saya melihat pemandangan perumahan kumuh, dengan rumah yang berdempet juga tempat yang tidak luas. Saya berpikir, bagaimana bisa mereka hidup tenang seperti seharusnya jika setiap harinya bahkan setiap menit mereka harus mendengar suara gemuruh kereta api? Belum lagi hiruk pikuk lalu lintas dengan berbagai aktivitas yang membuat saya bergidik. Belum apa-apa kemacetan sudah hampir terlihat, hiruk pikuk orang-orang yang akan pergi sekolah juga para orang dewasa yang hendak pergi bekerja. Dan yang lebih menyesakkan bagi saya adalah, ketika semua manusia yang saya lihat menggunakan motor! Pantas saja saat ini kota Bandung didaulat sebagai kota paling macet kedua setelah Jakarta. Tidak cukup sampai disitu, asap knalpot kendaraan pribadi juga angkutan umum memenuhi udara pagi yang seharusnya terlihat segar.
            Tidak ingin melihat pemandangan yang lebih menyesakkan, saya pun memejamkan mata, menikmati lagu Tarintih milik Barasuara membuat saya tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti tadi. Untuk sebuah perjalana cukup panjang, handphone dan earphone adalah dua benda penting yang harus saya bawa, karena saya tidak terlalu suka berbicara saat sedang dalam perjalanan. Saya lebih suka mendengarkan musik dan mengamati pemandangan yang saya lihat diluar jendela. Karena bagi saya, hal itu bisa membangkitkan imajinasi-imajinasi saya yang akhirnya dirangkai dalam sebuah inspirasi dan dituangkan kedalam sebuah tulisan, seperti yang sedang saya lakukan saat ini.
            Oke, next! Singkatnya, setelah disuguhi oleh pemandangan tempat-tempat kumuh, saya mulai membelalakan mata dan merasa bahagia. Bagaimana tidak, ketika apa yang ingin kamu lihat, sekarang terpampang jelas di depan mata. Ya pemandangan indah yang menakjubkan. Saat itu, saya telah memasuki kawasan Garut dan matahari sudah mulai menyinari bumi. Cahayanya yang perlahan menembus melewati pepohonan dan gunung yang berdiri tegak membuat saya kagum. Belum lagi saat itu pemandangan rombongan burung-burung yang terbang bebas membuat saya semakin melebarkan bibir untuk tersenyum. Tidak bisa saya lukiskan keindahannya, dan saya pun tidak sempat mengabadikan momen tersebut melalui kamera handphone karena saya tidak mau menyia-nyiakan pemandangan yang sangat indah –yang tertangkap oleh mata- dengan berkutat pada benda pipih berukuran 10x5 bernama gadget.
            Lagu-lagu milik Efek Rumah Kaca, Tigapagi, Barasuara, Sore dan yang lainnya berputar silih berganti, seiring dengan hadirnya pemandangan indah yang bisa saya nikmati. Mata saya begitu termanjakan ketika melihat sebuah pemandangan dengan objek utama gunung yang berwarna keemasan karena tersinari cahaya matahari. Jujur saja, belum pernah saya menikmati matahari pagi dengan pemandangan indah di kota orang, terlebih saat saya menikmatinya sendirian. Sudah lama juga saya tidak menikmati mentari pagi yang perlahan menyinari bumi dengan suara cicitan burung sebagai pengantarnya.
Terakhir saya merasakan hal itu adalah ketika saya berumur lima tahun, di sekitar rumah ditemani Alm. Ayah. Pernah juga beberapa kali saya menikmati mentari pagi dengan udara yang masih terasa segar sendirian di depan rumah dengan duduk di atas sepeda ketika berumur lima tahun, beberapa saat setelah ayah pergi bekerja. Dan itu menjadi momen yang tidak terlupakan dimana polusi udara masih minim, juga perumahan yang ada belum bertingkat tinggi. Saat itu langit berwarna biru dengan guratan awan yang cerah disinari mentari pagi. Dan setelahnya saya akan mendatangi rumah teman untuk bermain sepeda sampai pukul 10.00 sebelum akhirnya mandi dan bermain di salah satu rumah teman. Saya merasa sedih, hampir saja air mata ini menetes mengingat, jaman sekarang, jarang sekali bisa menikmati udara pagi yang masih segar dan pemandangan alam yang begitu indah. Butuh kesadaran yang begitu tinggi untuk menyadarkan orang-orang agar bisa menjaga alam dengan baik, agar menjaga apa yang ada untuk tetap ada, apa yang indah untuk tetap indah.
Dan sekali lagi saya takjub dan ingin menangis saat melihat sebuah gunung berdiri tegak menantangan. Di depan gunung itu terdapat hamparan rumput hijau yang begitu menyejukkan, masih disinari cahaya mentari berwarna keemasan. Saya pun kembali takjub atas salah satu karya Tuhan yang begitu memukau. Rasanya mata ini begitu bersyukur masih diberi kesempatan untuk melihat hal-hal indah yang diberikan Tuhan, rasanya mata ini begitu bersyukur masih diberi kesempata untuk menikmati karya Tuhan yang begitu luar biasa.

pemandangan alam daerah Garut, Jawa Barat

Setelah itu, saat kereta maju beberapa meter, pemandangan selanjutnya membuat saya kembali takjub. Bahkan saya berpendapat jika pemandangan ini adalah pemandangan yang paling indah yang saya temui. Dengan objek yang sama, sebuah gunung yang berdiri tegak juga disinari mentari, kali ini hamparan yang ada bukanlah rumput, melainkan seperti sebuah ladang jagung yang sudah memerah, sebenarnya saya tidak begitu yakin itu ladang jagung yang memerah atau padi yang menguning, yang jelas pemandangan yang dihadirkan begitu indah dan tidak terlupakan.

pemandangan di daerah Garut, Jawa Barat

Ditemani lagu Menjadi Indonesia milik Efek Rumah Kaca, saya menikmati Mahakarya Tuhan karena telah menciptakan segala sesuatunya dengan penuh perhitungan, antara keindahan juga makna yang terkandung didalamnya. Semuanya sudah Tuhan rencanakan sejak awal, sudah Tuhan perhitungkan baik dan buruknya. Dan saya tidak henti-hentinya untuk bersyukur sebagai bangsa Indonesia terlebih orang Sunda (masyarakat Jawa Barat) karena semua pemandangan indah yang disuguhkan berada di kawasan Jawa Barat. Untuk sekian kalinya saya tertegun oleh Mahakarya-Nya. Saya mulai berpikir, selama ini, manusia terlalu sombong dengan apa yang dia miliki, si A bisa melukis indah, si B jago berhitung fisika, si C jago dalam perhitungan kimia dan matematika, tapi kita tidak pernah sedikitpun merasa jika ada yang mempunyai kemampuan “lebih” selain dirinya, ada yang “lebih” baik dalam segala al selain dirinya. jangankan untuk merasa kecil, berterima kasih kepada Tuhan sang Maha Pencipta pun sepertinya tidak. Padahal berterima kasih kepada Tuhan bukanlah hal berat untuk dilakukan.
Hal ini saya alami ketika membaca salah satu novel fiksi, dimana karakter tokohnya sangat bagus dan membuat saya jatuh cinta berkali-kali. Bukan hanya itu, saya juga memujinya berkali-kali atas karakter yang dia miliki. Tapi pernahkah kita sedikitpun berterima kasih kepada pengarang novel tersebut karena telah menciptakan cerita juga karakter yang begitu epik dan mengagumkan? Biar saya tebak, jawabannya adalah jarang, bahkan hampir tidak pernah. Padahal jika kita ingin memuji, justru pengarangnya lah yang paling pantas kita puji. Kenapa? Karena dia yang menciptakan segalanya, dia yang memperhitungkan karakter juga jalan cerita sebuah karya fiksi sampai akhirnya bisa diterima di masyarakat. Tanpa pengarang, tokoh tersebut tidak akan menarik dimata pembaca bahkan mungkin tidak pernah ada.
Begitu juga yang terjadi kepada manusia, pernahkan kita mengucapkan terima kasih kepada Tuhan untuk semua hal yang dia ciptakan, untuk hal-hal kecil yang Dia ciptakan? Mungkin jawabannya sama, jarang dan hampir tidak pernah. Selama ini kita sering bersyukur atas apa yang terjadi dan berhubungan dengan kita, semisal, ketika kita mendapat pekerjaan bagus atau gaji yang cukup untuk hidup satu bulan, atau ketika kita ingin sesuatu dan dengan mudah Tuhan mengabulkannya, kita pasti berterima kasih akan hal itu. Namun pernahkah kita berterima kasih untuk hal-hal sepele seperti, kemampuan yang kita miliki? Misalnya jika kamu jago melukis, pernahkah kita berterima kasih pada-Nya karena Dia telah memberikan kemampuan itu untuk kita? Atau ketika kita diberikan kelebihan jago dalam hal fisika, kimia atau matematika, pernahkah kita bersyukur pada Tuhan karena Dia telah memberikan kemampuan itu pada kita? Mungkin jawabannya jarang atau bahkan hampir tidak pernah. Padahal jika kita pikirkan, kita sebagai manusia hanya akan menjadi seonggok daging yang tidak berguna jika Tuhan tidak memberikan kemampuan kepada kita sedikitpun, mungkin kita tidak akan pernah dilihat bahkan mungkin tidak akan pernah ada di dunia ini.
Dan saya harus kembali menahan air mata untuk tidak jatuh (emang dasanya saya baperan fufu) saat kereta berhenti di stasiun Cibatu, Garut. Saat itu, datanglah seorang bapak-bapak dengan sekotak kardus juga tas selempang di tubuhnya. Dia duduk tepat di depan saya. Kami sempat saling senyum dan bertanya. Kebetulan saat itu saya sedang membuat pop mie karena merasa lapar. Setelah sempat saling senyum, saya dan si Bapak sempat berbicara sebentar. Dia sempat bertanya tujuan saya begitupun sebaliknya. Lewat obrolan itulah saya tau, tujuan si Bapak adalah Surabaya, untuk bekerja (saya lupa si bapak pergi ke Surabaya untuk bekerja atau berjualan, yang jelas bukan untuk berlibur).
Kembali hati ini teriris mengingat pertanyaan sebelumnya yang di lontarkan si Bapak. Kala beliau bertanya hendak kemana dan tujuan saya pergi. Saya menjawab seadanya bahwa tujuan saya ke Jogja untuk berlibur. Disitulah diri ini merasa tertampar, ketika saya hanya bisa pergi ke luar provinsi untuk berlibur, di belahan dunia (okey ini lebay) lain seseorang hendak pergi ke luar provinsi untuk bekerja, mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Jika saja saya tidak malu, mungkin saat itu saya sudah menangis mengingat Alm. Ayah saya yang mungkin akan melakukan hal yang sama. Bekerja apapun dan kemanapun asalkan anak dan istrinya bisa bahagia, bisa makan dan segala hidupnya tercukupi.
Dan saya semakin sedih saat beberapa lama, si bapak mulai mengeluarkan nasi bungkus untuk sarapannya. Saya perhatikan secara diam-diam (emang dasarnya aku kepo), si bapak makan dengan nasi dan ayam. Pikiran saya mulai berkeliaran memikirkan hal yang mungkin fiksi (emang aku tukang ngayal!) seperti ini, dengan penuh cinta dan keringat si istri menyiapkan bekal untuk si bapak, disiapkannya baju kaus lusuh dengan celana panjang juga topi untuk menghalau si bapak dari sinar matahari yang terik. Tidak hanya itu, si istri juga menyiapkan perbekalan untuk dibawa ke Surabaya. Dengan penuh hormat dan santun, si istri mencium tangan sang bapak yang hendak pergi mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Oh Tuhan, begitu besar dan berat peran seorang ayah untuk anak dan istrinya. Mungkin hal ini juga yang pernah dialami oleh Alm. Ayah saya untuk keluarganya. Bekerja banting tulang siang dan malam asalkan kebutuhan keluarganya terpenuhi. Tidak perduli dengan rasa kantuk, tidak perduli dengan rasa lelah, yang penting anak dan istri bisa hidup dengan layak.
Pelajaran baru yang bisa saya ambil dari pertemuan saya dengan si bapak, jika hidup itu harus kita syukuri, janganlah sekali-kali mengeluh tentang hidup karena di luar sana, masih banyak orang-orang yang hidup tidak lebih beruntung dari kamu, bahkan mungkin hidup yang kamu keluhkan adalah hidup yang orang lain idam-idamkan. Dan juga janganlah sekali-kali kamu meremehkan orang tua, karena kamu tidak akan pernah tau serjuangan seperti apa yang mereka lakukan untuk menghidupi kamu. Sayangilah kedua orang tua sebagaimana mereka mengasihi kamu, hormatilah kedua orang tua karena tanpa mereka, kamu tidak akan pernah hidup, kamu tidak akan pernah ada di dunia ini (tuh dengerin buat adek-adek yang masih sekolah ga bener, dateng ke sekolah malah ngobrol dan niali jeblok terus padahal orang tua kalian banting tulang mengusahakan agar kalian bisa sekolah).
Setelah obrolan selesai, kami berdua tenggelam dalam lamunan masing-masing. Saya dengan tetap melihat pemandangan di luar dan si bapak mulai jatuh tertidur. Dan untuk semua hal yang saya alami, saya bersyukur jika Tuhan masih memberikan saya kesempatan untuk “melihat” hal-hal yang jarang terlihat. Merasa takjub luar biasa ketika berpuluh-puluh kali diberikan pemandangan alam yang sangat luar biasa. Disuguhkan pemandangan seorang kakek yang cukup berumur masih semangat bekerja mencari rumput untuk mekanan hewan ternak. Dengan menggunakan sepatu boots di atas gunung beliau masih semangat dan tersenyum kepada saya saat kereta ini melintas melewatinya. Atau ketika beberapa kali saya melihat matahari yang perlahan muncul di celah-celah gunung, dengan malu-malu dia menampakkan sinarnya yang membuat satu garis tak terlupakan. Semua perjalanan menuju Jogja tidak akan pernah saya lupakan. Karena apa yang saya lihat mungkin tidak akan pernah sama di masa depan. mungkin saja pemandangan lahan perkebunan, sawah dan pegunungan yang saya lihat akan menjadi sebuah perumahan mewah dikemudian hari, atau mungkin menjadi vila-vila dengan gaya etnik di atas gunung. Entahlah yang pasti saya tidak ingin mengingat kemacetan kota, hiruk pikuk orang-orang juga asap knalpot dan pabrik yang harus saya terima sampai tua nanti. Bagi saya perjalanan ini sungguh menyenangkan dan banyak menampar saya sebagai manusia yang masih belum menjadi apa-apa.
Itulah beberapa hal yang saya alami ketika menaiki kereta tujuan Bandung-Jogja. Selebihnya, perjalanan saya terasa biasa karena mulai memasuki kawasan perkotaan. Ditambah lagi hari yang mulai terik, membuat pemandangan yang saya lihat tidak semenakjubkan ketika matahari mulai hadir. Terakhir, ketika sampai distasiun Lempuyangan, saya pun berbenah untuk bersiap-siap turun. Mengambil tas jinjing yang disimpan kolong kursi dan menggendong tas yang sejak tadi berada di saping kanan saya. Terakhir saya pamit kepada si bapak, dia pun mengangguk namun raut mukanya masih sama seperti pertama kali bertemu, terlihat kaku tanpa ekspresi. Saya pun berdiri dan menunggu kereta berhenti setelah pamit. Di depan saya, saya kembali tertampar saat ada segerombolan ibu-ibu yang hendak turun seperti saya, sebelum berpisah mereka bersalaman dan saling meminta maaf jika ada salah-salah kata dalam berucap. Ya, saya tidak bersalaman dengan si bapak, saya hanya pamit kemudian bergegas berdiri. Tidak sepatah kata pun kata maaf keluar dari mulut saya untuk si bapak. Jujur saja, saya canggung dan malu ketika ingin bersalaman dan meminta maaf, sadar karena selama perjalanan kami hanya diam dan si bapak lebih banyak tidur, mungkin akan terlihat aneh jika saya meminta maaf, walaupun sampai sekarang saya menyesal.
Keriuhan orang-orang yang hendak turun pun menjadi pertimbangan saya untuk segera berdiri tanpa berpikir panjang (namanya juga baru pertama naik kereta ke tempat jauh, saya kira ketika pengumunan kereta akan tiba di stasiun berikutnya, itu beneran bakal langsung berenti terus turun, padahal  masih harus lewatin stasiun tugu dulu, halah). Padahal tidak ada salahnya untuk meminta maaf pada si bapak, mengingat mungkin saja ketika si bapak tertidur dan ketika saya mencoba merubah posisi kaki, kaki saya tidak sengaja menyenggol si bapak atau apa saja (yang ini fix beneran kepikiran).
Namun kembali lagi, saat itu keadannya mengharuskan saya untuk segera bersiap. Saya pun akhirnya turun dengan mendoakan si bapak semoga rejekinya lancar dan sehat selalu di dalam hati yang di tutup dengan kata amin.
Mungkin Tuhan memberikah beberapa seperti itu untuk “mengingatkan” saya agar lebih bisa memaknai hidup, bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan. Percayalah, bahwa apa yang diberikan Tuhan adalah hal yang paling baik untuk kita. Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari apa yang saya ceritakan. Amin.


Salam,
Tina Wiarsih

nb: maaf jika bahasa yang digunakan masih tidak terasa enak, dan maaf jika foto yang saya lampirkan kurang bagus dan menarik, karena selama perjalanan saya tidak begitu ingin mengabadikan momen dengan kamera handphone, cukup dengan mata kepala saja sudah memuaskan. Thanks :)



"Simple Thing Called Love" by Anna Triana

Judul          : Simple Thing Called Love Penulis       : Anna Triana Penerbit      : Elex Media Komputindo ISBN          : 978 - 602 - 0...