poster HISTRIONIK
Siapa yang
tidak mengenal handphone? Benda persegi panjang berukuran kecil yang dapat
melihat dunia tanpa batas. Belum lagi berbagai aplikasi yang dihadirkan membuat
kita memuja benda tersebut. Namun tau kah kalian jika melalui handphone, kita
dapat lupa segala hal, mempunyai beribu dampak negative jika tidak digunakan
dengan bijak. Seperti yang disampaikan oleh mahasiswa jurusan teater ISBI
Bandung angkatan 2013 yang membawakan sebuah pertujukan HISTRIONIK guna
memenuhi syarat salah satu mata kuliah Capita Selecta II Body Performance.
Banyak hal
yang bisa saya ambil dari pertunjukan tersebut, salah satunya tentang potret
kehidupan jaman sekarang, dimana semua hal harus berkaitan dengan media social.
Sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari dimana orang yang hendak makan,
pergi, berjalan-jalan bahkan sampai melihat orang yang kecelakaan pun tidak
lepas dari handphone kemudian memotretnya dan mengunggahnya ke salah satu akun media sosial mereka. Ketika kebaikan dijadikan konsumsi publik,
ketika politik dan agama bersentuhan dengan media social, semuanya terasa biasa
namun sebenarnya janggal. Ketika semua manusia terkurung dalam benda kotak
tersebut dan sulit untuk keluar, ketika semua orang mulai memaksakan hal yang
seharusnya tidak bisa dipaksakan benar-benar merupakan sindiran untuk kondisi saat ini.
Menurut saya
dan orang yang saya ajak untuk berdiskusi, Ganda Swarna, sang sutradara telah
berhasil menghadirkan sebuah pertunjukan dengan tema yang biasa atau bisa
disebut mainstream namun mampu mengemas tema tersebut menjadi suatu hal yang
luar bisa. Hal ini terbukti saat awal sampai akhir pertunjukan.
Pertunjukan di
mulai dengan adanya 2 kelompok manusia, satu kelompok hitam dan satu lagi
kelompok orang dengan tingkat bojuis tinggi. Mengapa saya menyebutkan kelompok
borjuis? Hal ini di gambarkan dengan kostum mereka yang hanya mengenakan baju
dengan potongan sexy layaknya kaum-kaum anak muda yang hidupnya tidak lepas
dari dugem, media social dan dunia maya. Mereka sibuk menari di tengah gemerlap lampu
klubing dengan memainkan media social. Dari sana, saya dapat mengambil
kesimpulan, jika inilah potret anak muda masa kini yang menghalalkan hal-hal
seperti itu, dimana klubing, pakaian sexy dan alcohol merupakan hal yang wajar
dan dengan bangga memamerkannya di akun social medianya. Mungkin dalam hal ini,
sang sutradara ingin mengambil contoh kasus Awkarin dan Anya Geraldine yang
tengah viral dalam dunia maya. Hidup penuh drama namun terlihat biasa saja di
media social. Kebalikan dari kaum borjuis, ada kaum yang memakai baju hitam. Dalam
awal pertunjukan digambarkan seorang kaum hitam tengah memainkan handphonenya
dan melihat beberapa aplikasi yang dia punya. Memamerkan isi line, bbm, Ig
dan sebagainya, hidup hanya mencari like dan komentar. Dimana semua yang di
upload hanya untuk mencari like dan komentar. Hidup dalam drama, candu akan memamerkannya dalam dunia maya.
Tidak lama,
muncul kaun wanita berhijab dengan pakaian yang ketat dan terbilang jiplak. Sibuk
melakukan promosi di media social guna mengajak manusia untuk berhijab. Menurut
saya, hal ini pun merupakan suatu sindiran untuk orang-orang jaman sekarang
yang (maaf) menggunakan hijab tapi berpakaian ketat, berpakaian namun tidak
seperti berpakaian. Memamerkan segala kebaikan yang dilakukan guna mendapat
pujian. Menurut pendapat saya, sang sutradara ingin menunjukan karakter
orang-orang yang merasa benar dalam segala hal, merasa benar dengan dirinya
namun justru salah. Saat kaum hijab memakainkan baju hijab nya pada kaum hitam
dan hampir semua kaum hitam mengikutinya, merukapakan suatu sindiran jika di jaman sekarang orang hanya mengikuti apa yang menjadi trend terutama dalam hal
fashion. Walaupun disini saya tidak menganggap semua orang demikian, namun
itulah yang saya tangkap dari pertunjukan tersebut. Dimana hijab dijadikan
fashion namun tidak sesuai dengan syariat islam.
Selanjutnya muncul
beberapa kelompok dengan menggunakan pakaian serba putih menyerupai ustad. Ini pun
menjadi suatu yang menarik karena kemunculan mereka benar-benar tidak terduga,
muncul dari pintu masuk penonton kemudian naik ke atas panggung. Di atas
panggung, mereka menari dengan ekspresi yang lucu yang membuat para apresiator
tertawa. Hal ini menjadi bahan diskusi yang serius dengan seseorang yang duduk
di sebelah saya dengan paradigma yang berbeda karena momen yang menunjukan
ambiguitas.
Menurut
teman diskusi saya, mengatakan jika hal itu merupakan suatu pembodohan, dimana
sosok ulama dijadikan bahan tertawaan. Apalagi ketika kaum politik datang, saat
mereka datang meneriakan nama Indonesia yang dibalas dengan takbir oleh kaum
ulama menjadi bahan tawaan para apresitor. Namun disini, saya mencoba mengkaji
hal itu. Ada dua makna atas tertwanya sang apresiator, yang pertama adalah
mereka tertawa karena menertawakan orang memerankan tokoh tersebut karena
disana mengenal mereka secara pribadi, ketika sedang tidak berperan. Namun,
bisa juga sang sutradara sengaja membuat image tokoh ulama dijadikan lucu dan
untuk ditertawakan, terlebih saat mereka menarikan sebuah tarian dengan mimic muka
yang lucu. Mungkin saja, sang sutradara ingin menampilkan image tersebut dan
menghubungkan kejadian itu dengan keadaan saat ini, dimana ketika para tokoh
agama memasuki dunia media social menjadi bahan tertawaan, bahkan dianggap
angin lalu. Kenapa demikian? Karena orang yang memberikan tausyiah tidak
semuanya memiliki pribadi yang baik dan bahkan mereka berbicara kebaikan namun
tidak hal nya dengan apa yang dia juga lakukan. Ini juga dapat dihubungkan
dengan kondisi saat ini yang mungkin orang sudah menganggap agama adalah satu
hal yang tidak penting. Sangat menarik untuk di bahas, menurut saya. Dan saat
kaum politik berseru sekencang-kencangnya tentang NKRI namun pada kenyataannya
nol belaka. Ketika agama dan politik disatukan dalam bingkai media social,
menjadi akibat yang buruk, saling hina, saling mencari kebenaran, menyalahkan
yang benar, membenarkan yang salah. Hal unik berikutnya adalah saat datangnya
dua orang, satu dari kaum borjuis dan satu lagi dari kaum hijab yang mereka
berada di belakang kedua kaum tersebut. Saat seorang kau borjuis berada di
belakang kaum ulama dan saat kaum hijab berada di belakang kaum politik. Saling
serang, saling menunjukan kekuasaan. Mencari dukungan dengan kaum yang lebih
kuat. Menurut tafsiran saya, ini merupakan satu symbol dimana segala hal yang
buruk jika dicambur dengan agama menjadi wangi dan tidak tampak salah. Ketika
semua orang berlomba-lomba memberika tausiyah, merasa paling benar namun
sebenarnya tidak. Saya sempat berpikir, sutradara ingin menyangkutkan kasus
ahok dengan para umat Islam, namun karena ini merupakan satu hal yang sangat sensitive,
jadi sutradara hanya memperlihatkan garis luarnya saja.
Terakhir adalah
saat semua kaum berkumpul dengan ciri khas masing-masing. Saat semua orang
memamerkan ponsel mereka dan sibuk dengan gadget mereka, ketika semua hal butuh
gadget dan tidak bisa hidup tanpa gadget. Kita semua menjadi seperti boneka
yang diatur oleh gadget. Saat ponsel dan gadget menjajah tubuh kita tanpa ampun,
menjajah diri kita dan menjadikan manusia hanya berpusan pada ponsel dan
gadget, bahkan untuk ibadah saja terkadang manusia melalaikannya akibat bermain
ponsel. Terakhir, mereka semua bangun kemudian sang sutradara menyisipkan
ringtone bbm dan line juga fenomenal yang begitu viral OM TELOLET OM. Menurut saya
, hal ini juga menarik, mungkin sutrada ingin menyampaikan hal dimana semua
hal-hal kecil menjadi viral akibat media social, salah satunya tentang kejadian
OM TELOLET OM. Dan terakhir ditutup dengan sebuah video wawancara dengan
orang-orang pengguna handphone dan semua kebiasaaan yang dilakukan dengan
handphone.
Sungguh suatu hal yang menarik dan banyak yang bisa saya ambil dari pertunjukan HISTRIONIK malam
tadi. Sebuah tamparan bagi saya, selaku orang yang tidak bisa hidup tanpa
ponsel untuk menjadi orang yang lebih bijak dalam menggunakan handphone. Itulah
review dari saya dan obrolan setelahnya dengan partner diskusi semalam dari
pertunjukan HISTIONIK, semoga kita semua bisa mengambil pesan moral yang hendak
disampaikan oleh para seniman ISBI, akhir kata saya ucapkan terima kasih dan
maaf bila ada tafsiran yang salah, karena saya menafsirkan makna pertunjukan
semalam secara bebas. Mohon dimaafkan juga bila ada salah-salah kata atau
perkataan yang menyinggung pembaca, akhir kata saya ucapkan terima kasih dan
SALAM APRESIASI!