Seorang wanita terduduk di sudut ruangan. Matanya terus menatap ke
luar jendela. Pandangannya kosong, rambutnya panjang terurai, pakaian yang ia
kenakan sedikit berantakan ditambah kantung mata yang sangat ketara. Dihadapannya
tersaji secangkir teh yang sejak tadi tidak terjamah oleh bibirnya. Setiap pagi
dia datang kemari, memesan teh yang sama sekali tidak diminunya. Dia hanya
terdiam, bergeming tanpa melakukan apa-apa sampai kafe ini tutup. Satu jam
sekali, karyawanku harus menghampirinya untuk mengganti teh yang sudah dingin
atas permintaannya.
Wanita itu terus melakukan hal yang sama sejak satu minggu yang
lalu. Dan hari ini pun begitu. Seperti biasa, dia memesan secangkir teh dan
meminta karyawan kami mengganti teh setiap satu jam sekali.
Satu jam….
Dua jam….
Wanita itu masih bergeming, memandang ke luar jendela. Saat jam ke
lima, ada sedikit perubahan pada apa yang
dia tatap. Seorang pria berjalan hendak memasuki kafe ini yang terus diikuti
oleh pandangan wanita itu. Semakin pria itu mendekati pintu, semakin jelas pula
pandangnya terarah. Tatapannya tidak pernah melepaskan pria itu, bahkan saat
dia memasuki ruang ganti dan kembali dengan mengenakan seragam seperti yang
lain, tangannya membawa secangkir teh di atas nampan. Samar-samar kudengar pria
yang tidak lain adalah karyawanku berbicara pada wanita itu.
“Ini teh mu. Teh terakhir,” ujarnya.
“Tolong, jangan pernah datang lagi. Aku harap kamu tidak melupakan
kenyataan jika hubungan kita sudah berakhir.”
Dan saat itulah aku menyaksikan hal menyakitkan. Dengan berurai
air mata, dia pergi meninggalkan tempat favoritnya. Meninggalkan sang pria yang
masih memegang nampan dengan secangkir teh yang sudah hampir dingin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar