JNGGA

Minggu, 08 April 2018

Trip to Jogja: Sebuah Perjalanan yang Sarat Makna (Part 1)



Oke, kali ini saya akan sedikit bercerita tentang pengalaman saya pergi ke kota gudeg, Yogyakarta seorang diri. Oke.. oke, sebenarnya tidak sepenuhnya sendiri, ketika sampai kota tujuan, saya ditemani oleh beberapa teman yang memang berjanji untuk bertemu disana.
            Dimulai dengan perencanaan bersama ketiga teman, kami berencana untuk pergi berlibur ke kota Jogja pada tanggal 15-18 Maret 2018 dari tempat yang berbeda. Saya yang berangkat dari Bandung dan mereka yang berangkat dari Banten dan Jakarta. Kebetulan, satu teman kami sudah berada di Jogja sejak lama karena dia sedang melanjutkan kuliahnya di UII Jogja jurusan Psikologi (mantep nggak tuh?!).
            Singkat cerita, saya berangkat dari Bandung pukul 05.35 menggunakan kereta ekonomi Pasundan dari stasiun Kiaracondong dengan harga tiket 94.000 (seklain promosi). Saya bersiap pukul 04.00 pagi dan mulai memesan Grabbike untuk mengantarkan ke stasiun tujuan. Berbekal doa, saya pamit pergi kepada kakak agar dilancarkan dan diberikan keselamatan sampai tujuan.
Ada rasa takut juga resah mengingat ini merupakan pengalaman pertama saya bepergian jauh seorang diri. Bagaimana tidak, biasanya tempat terjauh yang saya lalui adalah Garut, itu pun pergi berdua bersama teman. Pernah saya bepergian ke Tasikmalaya, dan itu pun bersama teman kampus dalam acara study tour, sama sekali bukan untuk berlibur apalagi traveling.
Pengalaman berangkat ke Jogja seorang diri untuk berlibur baru benar-benar saya alami kali ini. Berbagai pikiran buruk selama perjalanan masih terus menghantui saya. Percaya atau tidak, saya tidak berani memposting bukti tiket kereta di instastory karena salah satu teman saya ada yang indigo, dan saya takut dia mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti maksudnya, sehingga membuat diri ini resah dan tidak yakin untuk pergi. Jika hal itu terjadi, biasanya saya akan membatalkan keberangkatan secara mendadak.  Namun, Alhamdulillah, Tuhan merestui kepergian saya ke kota Gudeg dengan melancarkan segala urusannya.
            Singkat cerita, ketika sampai di stasiun Kiacaracondong, saya duduk di gerbong satu, kelas ekonomi nomor 5E. Kala itu, kursi yang saya duduki kosong, tidak ada penumpang lain selain saya, dan tentu saja saya memilih kursi yang paling dekat dengan jendela. Karena selain mudah untuk men charge handphone, saya juga lebih leluasa melihat pemandangan yang menakjubkan di luar sana. Berbekal taro, pop mie dan juga air panas yang saya masukan ke dalam termos kecil, diri ini mulai duduk dengan tenang. mengabari kakak dan beberapa teman untuk memberitaukan jika saya sudah sampai di stasiun dan siap berangkat.
Dan tidak butuh waktu lebih lama lagi, kereta perlahan berangkat meninggalkan stasiun Kiaracondong. Saya pun mulai mengambil ear phone, memasangkannya di handphone dan telinga. Saya memilih beberapa lagu yang terdengar enak untuk didengarkan pagi hari.
            Pilihan saya jatuh pada lagu Merah milik Efek Rumah Kaca yang menjadi lagu pembuka dalam trip pertama saya keluar provinsi. Ketiadaan matahari membuat saya tidak bisa menikmati pemandangan yang hadir di depan mata. Saat itu hanya terlihat langit yang membiru dan pohon-pohon yang masih berwarna hitam seperti sebuah siluet.

pemandangan stasiun Kiaracondong pukul 05.30

            Ya kira-kira seperti itulah pemandangan yang saya lihat ketika akan berangkat kesana. Selama beberapa menit saya tenggelam dengan pikiran-pikiran yang berada di kepala. Kali ini, ditemani lagu Mengejar Matahari milik Ari Lasho, saya melihat pemandangan perumahan kumuh, dengan rumah yang berdempet juga tempat yang tidak luas. Saya berpikir, bagaimana bisa mereka hidup tenang seperti seharusnya jika setiap harinya bahkan setiap menit mereka harus mendengar suara gemuruh kereta api? Belum lagi hiruk pikuk lalu lintas dengan berbagai aktivitas yang membuat saya bergidik. Belum apa-apa kemacetan sudah hampir terlihat, hiruk pikuk orang-orang yang akan pergi sekolah juga para orang dewasa yang hendak pergi bekerja. Dan yang lebih menyesakkan bagi saya adalah, ketika semua manusia yang saya lihat menggunakan motor! Pantas saja saat ini kota Bandung didaulat sebagai kota paling macet kedua setelah Jakarta. Tidak cukup sampai disitu, asap knalpot kendaraan pribadi juga angkutan umum memenuhi udara pagi yang seharusnya terlihat segar.
            Tidak ingin melihat pemandangan yang lebih menyesakkan, saya pun memejamkan mata, menikmati lagu Tarintih milik Barasuara membuat saya tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti tadi. Untuk sebuah perjalana cukup panjang, handphone dan earphone adalah dua benda penting yang harus saya bawa, karena saya tidak terlalu suka berbicara saat sedang dalam perjalanan. Saya lebih suka mendengarkan musik dan mengamati pemandangan yang saya lihat diluar jendela. Karena bagi saya, hal itu bisa membangkitkan imajinasi-imajinasi saya yang akhirnya dirangkai dalam sebuah inspirasi dan dituangkan kedalam sebuah tulisan, seperti yang sedang saya lakukan saat ini.
            Oke, next! Singkatnya, setelah disuguhi oleh pemandangan tempat-tempat kumuh, saya mulai membelalakan mata dan merasa bahagia. Bagaimana tidak, ketika apa yang ingin kamu lihat, sekarang terpampang jelas di depan mata. Ya pemandangan indah yang menakjubkan. Saat itu, saya telah memasuki kawasan Garut dan matahari sudah mulai menyinari bumi. Cahayanya yang perlahan menembus melewati pepohonan dan gunung yang berdiri tegak membuat saya kagum. Belum lagi saat itu pemandangan rombongan burung-burung yang terbang bebas membuat saya semakin melebarkan bibir untuk tersenyum. Tidak bisa saya lukiskan keindahannya, dan saya pun tidak sempat mengabadikan momen tersebut melalui kamera handphone karena saya tidak mau menyia-nyiakan pemandangan yang sangat indah –yang tertangkap oleh mata- dengan berkutat pada benda pipih berukuran 10x5 bernama gadget.
            Lagu-lagu milik Efek Rumah Kaca, Tigapagi, Barasuara, Sore dan yang lainnya berputar silih berganti, seiring dengan hadirnya pemandangan indah yang bisa saya nikmati. Mata saya begitu termanjakan ketika melihat sebuah pemandangan dengan objek utama gunung yang berwarna keemasan karena tersinari cahaya matahari. Jujur saja, belum pernah saya menikmati matahari pagi dengan pemandangan indah di kota orang, terlebih saat saya menikmatinya sendirian. Sudah lama juga saya tidak menikmati mentari pagi yang perlahan menyinari bumi dengan suara cicitan burung sebagai pengantarnya.
Terakhir saya merasakan hal itu adalah ketika saya berumur lima tahun, di sekitar rumah ditemani Alm. Ayah. Pernah juga beberapa kali saya menikmati mentari pagi dengan udara yang masih terasa segar sendirian di depan rumah dengan duduk di atas sepeda ketika berumur lima tahun, beberapa saat setelah ayah pergi bekerja. Dan itu menjadi momen yang tidak terlupakan dimana polusi udara masih minim, juga perumahan yang ada belum bertingkat tinggi. Saat itu langit berwarna biru dengan guratan awan yang cerah disinari mentari pagi. Dan setelahnya saya akan mendatangi rumah teman untuk bermain sepeda sampai pukul 10.00 sebelum akhirnya mandi dan bermain di salah satu rumah teman. Saya merasa sedih, hampir saja air mata ini menetes mengingat, jaman sekarang, jarang sekali bisa menikmati udara pagi yang masih segar dan pemandangan alam yang begitu indah. Butuh kesadaran yang begitu tinggi untuk menyadarkan orang-orang agar bisa menjaga alam dengan baik, agar menjaga apa yang ada untuk tetap ada, apa yang indah untuk tetap indah.
Dan sekali lagi saya takjub dan ingin menangis saat melihat sebuah gunung berdiri tegak menantangan. Di depan gunung itu terdapat hamparan rumput hijau yang begitu menyejukkan, masih disinari cahaya mentari berwarna keemasan. Saya pun kembali takjub atas salah satu karya Tuhan yang begitu memukau. Rasanya mata ini begitu bersyukur masih diberi kesempatan untuk melihat hal-hal indah yang diberikan Tuhan, rasanya mata ini begitu bersyukur masih diberi kesempata untuk menikmati karya Tuhan yang begitu luar biasa.

pemandangan alam daerah Garut, Jawa Barat

Setelah itu, saat kereta maju beberapa meter, pemandangan selanjutnya membuat saya kembali takjub. Bahkan saya berpendapat jika pemandangan ini adalah pemandangan yang paling indah yang saya temui. Dengan objek yang sama, sebuah gunung yang berdiri tegak juga disinari mentari, kali ini hamparan yang ada bukanlah rumput, melainkan seperti sebuah ladang jagung yang sudah memerah, sebenarnya saya tidak begitu yakin itu ladang jagung yang memerah atau padi yang menguning, yang jelas pemandangan yang dihadirkan begitu indah dan tidak terlupakan.

pemandangan di daerah Garut, Jawa Barat

Ditemani lagu Menjadi Indonesia milik Efek Rumah Kaca, saya menikmati Mahakarya Tuhan karena telah menciptakan segala sesuatunya dengan penuh perhitungan, antara keindahan juga makna yang terkandung didalamnya. Semuanya sudah Tuhan rencanakan sejak awal, sudah Tuhan perhitungkan baik dan buruknya. Dan saya tidak henti-hentinya untuk bersyukur sebagai bangsa Indonesia terlebih orang Sunda (masyarakat Jawa Barat) karena semua pemandangan indah yang disuguhkan berada di kawasan Jawa Barat. Untuk sekian kalinya saya tertegun oleh Mahakarya-Nya. Saya mulai berpikir, selama ini, manusia terlalu sombong dengan apa yang dia miliki, si A bisa melukis indah, si B jago berhitung fisika, si C jago dalam perhitungan kimia dan matematika, tapi kita tidak pernah sedikitpun merasa jika ada yang mempunyai kemampuan “lebih” selain dirinya, ada yang “lebih” baik dalam segala al selain dirinya. jangankan untuk merasa kecil, berterima kasih kepada Tuhan sang Maha Pencipta pun sepertinya tidak. Padahal berterima kasih kepada Tuhan bukanlah hal berat untuk dilakukan.
Hal ini saya alami ketika membaca salah satu novel fiksi, dimana karakter tokohnya sangat bagus dan membuat saya jatuh cinta berkali-kali. Bukan hanya itu, saya juga memujinya berkali-kali atas karakter yang dia miliki. Tapi pernahkah kita sedikitpun berterima kasih kepada pengarang novel tersebut karena telah menciptakan cerita juga karakter yang begitu epik dan mengagumkan? Biar saya tebak, jawabannya adalah jarang, bahkan hampir tidak pernah. Padahal jika kita ingin memuji, justru pengarangnya lah yang paling pantas kita puji. Kenapa? Karena dia yang menciptakan segalanya, dia yang memperhitungkan karakter juga jalan cerita sebuah karya fiksi sampai akhirnya bisa diterima di masyarakat. Tanpa pengarang, tokoh tersebut tidak akan menarik dimata pembaca bahkan mungkin tidak pernah ada.
Begitu juga yang terjadi kepada manusia, pernahkan kita mengucapkan terima kasih kepada Tuhan untuk semua hal yang dia ciptakan, untuk hal-hal kecil yang Dia ciptakan? Mungkin jawabannya sama, jarang dan hampir tidak pernah. Selama ini kita sering bersyukur atas apa yang terjadi dan berhubungan dengan kita, semisal, ketika kita mendapat pekerjaan bagus atau gaji yang cukup untuk hidup satu bulan, atau ketika kita ingin sesuatu dan dengan mudah Tuhan mengabulkannya, kita pasti berterima kasih akan hal itu. Namun pernahkah kita berterima kasih untuk hal-hal sepele seperti, kemampuan yang kita miliki? Misalnya jika kamu jago melukis, pernahkah kita berterima kasih pada-Nya karena Dia telah memberikan kemampuan itu untuk kita? Atau ketika kita diberikan kelebihan jago dalam hal fisika, kimia atau matematika, pernahkah kita bersyukur pada Tuhan karena Dia telah memberikan kemampuan itu pada kita? Mungkin jawabannya jarang atau bahkan hampir tidak pernah. Padahal jika kita pikirkan, kita sebagai manusia hanya akan menjadi seonggok daging yang tidak berguna jika Tuhan tidak memberikan kemampuan kepada kita sedikitpun, mungkin kita tidak akan pernah dilihat bahkan mungkin tidak akan pernah ada di dunia ini.
Dan saya harus kembali menahan air mata untuk tidak jatuh (emang dasanya saya baperan fufu) saat kereta berhenti di stasiun Cibatu, Garut. Saat itu, datanglah seorang bapak-bapak dengan sekotak kardus juga tas selempang di tubuhnya. Dia duduk tepat di depan saya. Kami sempat saling senyum dan bertanya. Kebetulan saat itu saya sedang membuat pop mie karena merasa lapar. Setelah sempat saling senyum, saya dan si Bapak sempat berbicara sebentar. Dia sempat bertanya tujuan saya begitupun sebaliknya. Lewat obrolan itulah saya tau, tujuan si Bapak adalah Surabaya, untuk bekerja (saya lupa si bapak pergi ke Surabaya untuk bekerja atau berjualan, yang jelas bukan untuk berlibur).
Kembali hati ini teriris mengingat pertanyaan sebelumnya yang di lontarkan si Bapak. Kala beliau bertanya hendak kemana dan tujuan saya pergi. Saya menjawab seadanya bahwa tujuan saya ke Jogja untuk berlibur. Disitulah diri ini merasa tertampar, ketika saya hanya bisa pergi ke luar provinsi untuk berlibur, di belahan dunia (okey ini lebay) lain seseorang hendak pergi ke luar provinsi untuk bekerja, mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Jika saja saya tidak malu, mungkin saat itu saya sudah menangis mengingat Alm. Ayah saya yang mungkin akan melakukan hal yang sama. Bekerja apapun dan kemanapun asalkan anak dan istrinya bisa bahagia, bisa makan dan segala hidupnya tercukupi.
Dan saya semakin sedih saat beberapa lama, si bapak mulai mengeluarkan nasi bungkus untuk sarapannya. Saya perhatikan secara diam-diam (emang dasarnya aku kepo), si bapak makan dengan nasi dan ayam. Pikiran saya mulai berkeliaran memikirkan hal yang mungkin fiksi (emang aku tukang ngayal!) seperti ini, dengan penuh cinta dan keringat si istri menyiapkan bekal untuk si bapak, disiapkannya baju kaus lusuh dengan celana panjang juga topi untuk menghalau si bapak dari sinar matahari yang terik. Tidak hanya itu, si istri juga menyiapkan perbekalan untuk dibawa ke Surabaya. Dengan penuh hormat dan santun, si istri mencium tangan sang bapak yang hendak pergi mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Oh Tuhan, begitu besar dan berat peran seorang ayah untuk anak dan istrinya. Mungkin hal ini juga yang pernah dialami oleh Alm. Ayah saya untuk keluarganya. Bekerja banting tulang siang dan malam asalkan kebutuhan keluarganya terpenuhi. Tidak perduli dengan rasa kantuk, tidak perduli dengan rasa lelah, yang penting anak dan istri bisa hidup dengan layak.
Pelajaran baru yang bisa saya ambil dari pertemuan saya dengan si bapak, jika hidup itu harus kita syukuri, janganlah sekali-kali mengeluh tentang hidup karena di luar sana, masih banyak orang-orang yang hidup tidak lebih beruntung dari kamu, bahkan mungkin hidup yang kamu keluhkan adalah hidup yang orang lain idam-idamkan. Dan juga janganlah sekali-kali kamu meremehkan orang tua, karena kamu tidak akan pernah tau serjuangan seperti apa yang mereka lakukan untuk menghidupi kamu. Sayangilah kedua orang tua sebagaimana mereka mengasihi kamu, hormatilah kedua orang tua karena tanpa mereka, kamu tidak akan pernah hidup, kamu tidak akan pernah ada di dunia ini (tuh dengerin buat adek-adek yang masih sekolah ga bener, dateng ke sekolah malah ngobrol dan niali jeblok terus padahal orang tua kalian banting tulang mengusahakan agar kalian bisa sekolah).
Setelah obrolan selesai, kami berdua tenggelam dalam lamunan masing-masing. Saya dengan tetap melihat pemandangan di luar dan si bapak mulai jatuh tertidur. Dan untuk semua hal yang saya alami, saya bersyukur jika Tuhan masih memberikan saya kesempatan untuk “melihat” hal-hal yang jarang terlihat. Merasa takjub luar biasa ketika berpuluh-puluh kali diberikan pemandangan alam yang sangat luar biasa. Disuguhkan pemandangan seorang kakek yang cukup berumur masih semangat bekerja mencari rumput untuk mekanan hewan ternak. Dengan menggunakan sepatu boots di atas gunung beliau masih semangat dan tersenyum kepada saya saat kereta ini melintas melewatinya. Atau ketika beberapa kali saya melihat matahari yang perlahan muncul di celah-celah gunung, dengan malu-malu dia menampakkan sinarnya yang membuat satu garis tak terlupakan. Semua perjalanan menuju Jogja tidak akan pernah saya lupakan. Karena apa yang saya lihat mungkin tidak akan pernah sama di masa depan. mungkin saja pemandangan lahan perkebunan, sawah dan pegunungan yang saya lihat akan menjadi sebuah perumahan mewah dikemudian hari, atau mungkin menjadi vila-vila dengan gaya etnik di atas gunung. Entahlah yang pasti saya tidak ingin mengingat kemacetan kota, hiruk pikuk orang-orang juga asap knalpot dan pabrik yang harus saya terima sampai tua nanti. Bagi saya perjalanan ini sungguh menyenangkan dan banyak menampar saya sebagai manusia yang masih belum menjadi apa-apa.
Itulah beberapa hal yang saya alami ketika menaiki kereta tujuan Bandung-Jogja. Selebihnya, perjalanan saya terasa biasa karena mulai memasuki kawasan perkotaan. Ditambah lagi hari yang mulai terik, membuat pemandangan yang saya lihat tidak semenakjubkan ketika matahari mulai hadir. Terakhir, ketika sampai distasiun Lempuyangan, saya pun berbenah untuk bersiap-siap turun. Mengambil tas jinjing yang disimpan kolong kursi dan menggendong tas yang sejak tadi berada di saping kanan saya. Terakhir saya pamit kepada si bapak, dia pun mengangguk namun raut mukanya masih sama seperti pertama kali bertemu, terlihat kaku tanpa ekspresi. Saya pun berdiri dan menunggu kereta berhenti setelah pamit. Di depan saya, saya kembali tertampar saat ada segerombolan ibu-ibu yang hendak turun seperti saya, sebelum berpisah mereka bersalaman dan saling meminta maaf jika ada salah-salah kata dalam berucap. Ya, saya tidak bersalaman dengan si bapak, saya hanya pamit kemudian bergegas berdiri. Tidak sepatah kata pun kata maaf keluar dari mulut saya untuk si bapak. Jujur saja, saya canggung dan malu ketika ingin bersalaman dan meminta maaf, sadar karena selama perjalanan kami hanya diam dan si bapak lebih banyak tidur, mungkin akan terlihat aneh jika saya meminta maaf, walaupun sampai sekarang saya menyesal.
Keriuhan orang-orang yang hendak turun pun menjadi pertimbangan saya untuk segera berdiri tanpa berpikir panjang (namanya juga baru pertama naik kereta ke tempat jauh, saya kira ketika pengumunan kereta akan tiba di stasiun berikutnya, itu beneran bakal langsung berenti terus turun, padahal  masih harus lewatin stasiun tugu dulu, halah). Padahal tidak ada salahnya untuk meminta maaf pada si bapak, mengingat mungkin saja ketika si bapak tertidur dan ketika saya mencoba merubah posisi kaki, kaki saya tidak sengaja menyenggol si bapak atau apa saja (yang ini fix beneran kepikiran).
Namun kembali lagi, saat itu keadannya mengharuskan saya untuk segera bersiap. Saya pun akhirnya turun dengan mendoakan si bapak semoga rejekinya lancar dan sehat selalu di dalam hati yang di tutup dengan kata amin.
Mungkin Tuhan memberikah beberapa seperti itu untuk “mengingatkan” saya agar lebih bisa memaknai hidup, bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan. Percayalah, bahwa apa yang diberikan Tuhan adalah hal yang paling baik untuk kita. Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari apa yang saya ceritakan. Amin.


Salam,
Tina Wiarsih

nb: maaf jika bahasa yang digunakan masih tidak terasa enak, dan maaf jika foto yang saya lampirkan kurang bagus dan menarik, karena selama perjalanan saya tidak begitu ingin mengabadikan momen dengan kamera handphone, cukup dengan mata kepala saja sudah memuaskan. Thanks :)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Simple Thing Called Love" by Anna Triana

Judul          : Simple Thing Called Love Penulis       : Anna Triana Penerbit      : Elex Media Komputindo ISBN          : 978 - 602 - 0...