Waiting for your call, I'm sick, call I'm angry
call I'm desperate for your voice
Listening to the song we used to sing
In the car, do you remember
Butterfly, Early Summer
It's playing on repeat, Just like when we would meet
Like when we would meet
Cause I was born to tell you I love you
and I am torn to do what I have to, to make you mine
Stay with me tonight .
Perlahan musik awal itu
mengalun lembut di telingaku, membawaku akan kenangan indah di masa lalu.
Jingga. Seseorang yang selama ini ku tunggu dan kunanti kedatangannya saat
matahari terbenam. Di sisi laut dan menghadap ke barat, ku duduk terdiam sambil
mendengarkan lagu itu. Berharap akan kedatangannya dari arah barat dan
menarikku ke dalam pelukannya. Melepaskan rasa rindu dan haru bersama di tengah
indahnya semburan langit jingga yang menghias langit barat.
***
"Jingga? Jingga
mana?" Tanyaku pada Bisma ketika dia selesai berbicara.
"Itu temanku yang
tempo hari aku ceritakan." Jawabnya santai.
"Oh yang orangnya
kocak itu?"
"Iya."
"Ih namanya aneh
seperti perempuan." Ucapku kemudian.
Kocak. Satu kata itulah
yang membuatku menjadi sangat menyukainya. Aku ingat betul ketika pertama kali
dia menghubungiku. Pada awal nya aku tak mempunyai perasaan apapun terhadapnya.
Tak sedikitpun aku menaruh hati padanya. Tak jarang pula aku tak membalas pesan
singkat yang dia berikan padaku. Entah mengapa dulu aku sangat enggan untuk
berhubungan dengannya, mungkin karena dulu aku masih mempunyai seorang kekasih
bernama Tama. Aku sangat ingat ketika Bisma, saudaraku berkata bahwa Jingga
terlihat kesal karena aku jarang membalas pesan singkat yang dia berikan.
Bukannya aku tak ingin untuk membalas pesan singkatnya tetapi karena memang pesan-pesan
yang masuk ke dalam handphone ku memang jenis pesan yang tidak menghendaki
jawaban. Beberapa bulan setelah itu aku dan Jingga hampir tidak pernah
berkomunikasi lagi. Hingga pada suatu malam saat hubunganku dan Tama berakhir,
dia kembali mengirimi aku satu pesan singkat. Sebuah kata-kata cinta dengan
berhasil masuk ke dalam handphoneku. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu,
sambil menangis ku gerakan jari jemariku di atas keyword handphone. Tak lama
kemudian handphone ku berbunyi pertanda ada pesan masuk. Kembali Jingga
membalas pesanku dengan kata-kata yang tak menghendaki jawaban. Aku pun
membiarkannya dan melanjutkan menangis. Aku ingat betul saat itu. Pada puku
21.00 handphone ku kembali berbunyi tetapi kali ini bukan pertanda ada pesan masuk
melainkan telepon. Aku sangat ingat akan pembicaraan aku dengannya dulu. Dia
hadir sebagai penghibur bagiku. Dan saat itu pula dia menyanyikan lagu itu
dengan petikan gitar yang indah. Aku juga ingat saat itu dia menawari aku untuk
bercerita padanya, tetapi aku menolak. Malam itu aku dan dia berbicara sampai
larut, apapun yang ada di pikiran aku dan dia pasti diutarakan. Kedekatan aku
dan Jingga pun berlanjut sampai akhirnya aku sadar bahwa aku menaruh hati
padanya. Jingga. Sosok orang yang apa adanya. Dia tak segan-segan untuk
memperlihatkan sifat buruknya padaku. Sifat yang seharusnya membuatku menjadi
membenci atau tidak menyukainya. Tetapi justru sebaliknya. Aku menjadi begitu
menyukainya. Aku suka dengan sifatnya yang apa adanya dan tak jarang membuatku
tertawa. Hingga pada akhirnya saat itu datang. Saat Jingga datang dengan wajah
kelam, lalu menghampiriku.
"Ada yang harus
kubicarakan." Ucapnya dengan murung.
"Ada apa Ga?" Tanyaku
heran.
"Arlin, aku harus
pergi sore ini juga. Aku akan bertugas di Eropa selama 1 tahun. Dan selama itu
kita tidak akan bertemu." Ucapnya dengan penuh rasa khawatir. Aku masih
shock dengan kabar itu, sehingga aku hanya bisa terdiam dan membisu
dihadapannya.
"Kau.. Bisa menunggu
ku sampai nanti aku kembali?" Tanyanya dengan nada yang sarat
kekhawatiran. Aku pun hanya tertunduk lalu mengangguk perlahan.
"Baiklah, aku percaya
padamu Lin. Tunggulah aku di langit barat ketika matahari mulai terbenam, maka
aku akan datang dan memelukmu dengan segenap jiwa dan raga."
Perasaanku sungguh
berkecamuk saat itu. Sungguh sulit ku percaya bahwa hubunganku dengannya harus
berakhir bahkan sebelum dimulai. Lalu dia mengulurkan tangannya dan merengkuhku
ke dalam pelukannya. Pelukan yang hangat dan menenangkan. Sejak saat itu dia
mulai pergi dan aku mulai menunggu pada saat matahari terbenam.
***
Entah sudah ke berapa
matahari terbenam yang ku lalui. Sejak saat itu aku mulai menunggu, menunggu
dan terus menunggu sampai Jingga benar-benar datang dari langit yang berwarna
jingga. Aku tak pernah bosan untuk terus menunggunya. Aku tak pernah lelah
untuk menunggu sang jingga datang. Aku tak sabar untuk melihat wajah cerahnya yang
ditimpa sinar matahari sore. Dia akan terlihat lebih tampan dari biasanya. Aku
pun tak sabar untuk bernyanyi dan tertawa bersama kembali. Melanjutkan hubungan
aku dan dia yang sempat tertunda. Jinggaku yang ku tunggu, entah kapan dia akan
kembali, dan entah keberapa jingga yang harus kulalui. Mungkinkah esok, lusa
atau seterusnya. Atau mungkin Jinggaku tak akan pernah kembali, terbenam
bersama matahari jingga dan tak akan pernah terbit kembali selama-lamanya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar