JNGGA

Senin, 14 Oktober 2013

KETIKA SANG JINGGA PERGI

Waiting for your call, I'm sick, call I'm angry 
call I'm desperate for your voice 
Listening to the song we used to sing 
In the car, do you remember 
Butterfly, Early Summer 
It's playing on repeat, Just like when we would meet
Like when we would meet 
 Cause I was born to tell you I love you 
and I am torn to do what I have to, to make you mine 
Stay with me tonight .

            Perlahan musik awal itu mengalun lembut di telingaku, membawaku akan kenangan indah di masa lalu. Jingga. Seseorang yang selama ini ku tunggu dan kunanti kedatangannya saat matahari terbenam. Di sisi laut dan menghadap ke barat, ku duduk terdiam sambil mendengarkan lagu itu. Berharap akan kedatangannya dari arah barat dan menarikku ke dalam pelukannya. Melepaskan rasa rindu dan haru bersama di tengah indahnya semburan langit jingga yang menghias langit barat.
                                                                        ***


            "Jingga? Jingga mana?" Tanyaku pada Bisma ketika dia selesai berbicara.
            "Itu temanku yang tempo hari aku ceritakan." Jawabnya santai.
            "Oh yang orangnya kocak itu?"
            "Iya."
            "Ih namanya aneh seperti perempuan." Ucapku kemudian.
            Kocak. Satu kata itulah yang membuatku menjadi sangat menyukainya. Aku ingat betul ketika pertama kali dia menghubungiku. Pada awal nya aku tak mempunyai perasaan apapun terhadapnya. Tak sedikitpun aku menaruh hati padanya. Tak jarang pula aku tak membalas pesan singkat yang dia berikan padaku. Entah mengapa dulu aku sangat enggan untuk berhubungan dengannya, mungkin karena dulu aku masih mempunyai seorang kekasih bernama Tama. Aku sangat ingat ketika Bisma, saudaraku berkata bahwa Jingga terlihat kesal karena aku jarang membalas pesan singkat yang dia berikan. Bukannya aku tak ingin untuk membalas pesan singkatnya tetapi karena memang pesan-pesan yang masuk ke dalam handphone ku memang jenis pesan yang tidak menghendaki  jawaban. Beberapa bulan setelah itu aku dan Jingga hampir tidak pernah berkomunikasi lagi. Hingga pada suatu malam saat hubunganku dan Tama berakhir, dia kembali mengirimi aku satu pesan singkat. Sebuah kata-kata cinta dengan berhasil masuk ke dalam handphoneku. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu, sambil menangis ku gerakan jari jemariku di atas keyword handphone. Tak lama kemudian handphone ku berbunyi pertanda ada pesan masuk. Kembali Jingga membalas pesanku dengan kata-kata yang tak menghendaki jawaban. Aku pun membiarkannya dan melanjutkan menangis. Aku ingat betul saat itu. Pada puku 21.00 handphone ku kembali berbunyi tetapi kali ini bukan pertanda ada pesan masuk melainkan telepon. Aku sangat ingat akan pembicaraan aku dengannya dulu. Dia hadir sebagai penghibur bagiku. Dan saat itu pula dia menyanyikan lagu itu dengan petikan gitar yang indah. Aku juga ingat saat itu dia menawari aku untuk bercerita padanya, tetapi aku menolak. Malam itu aku dan dia berbicara sampai larut, apapun yang ada di pikiran aku dan dia pasti diutarakan. Kedekatan aku dan Jingga pun berlanjut sampai akhirnya aku sadar bahwa aku menaruh hati padanya. Jingga. Sosok orang yang apa adanya. Dia tak segan-segan untuk memperlihatkan sifat buruknya padaku. Sifat yang seharusnya membuatku menjadi membenci atau tidak menyukainya. Tetapi justru sebaliknya. Aku menjadi begitu menyukainya. Aku suka dengan sifatnya yang apa adanya dan tak jarang membuatku tertawa. Hingga pada akhirnya saat itu datang. Saat Jingga datang dengan wajah kelam, lalu menghampiriku.
            "Ada yang harus kubicarakan." Ucapnya dengan murung.
            "Ada apa Ga?" Tanyaku heran.
            "Arlin, aku harus pergi sore ini juga. Aku akan bertugas di Eropa selama 1 tahun. Dan selama itu kita tidak akan bertemu." Ucapnya dengan penuh rasa khawatir. Aku masih shock dengan kabar itu, sehingga aku hanya bisa terdiam dan membisu dihadapannya.
            "Kau.. Bisa menunggu ku sampai nanti aku kembali?" Tanyanya dengan nada yang sarat kekhawatiran. Aku pun hanya tertunduk lalu mengangguk perlahan.
            "Baiklah, aku percaya padamu Lin. Tunggulah aku di langit barat ketika matahari mulai terbenam, maka aku akan datang dan memelukmu dengan segenap jiwa dan raga."

            Perasaanku sungguh berkecamuk saat itu. Sungguh sulit ku percaya bahwa hubunganku dengannya harus berakhir bahkan sebelum dimulai. Lalu dia mengulurkan tangannya dan merengkuhku ke dalam pelukannya. Pelukan yang hangat dan menenangkan. Sejak saat itu dia mulai pergi dan aku mulai menunggu pada saat matahari terbenam.
                                                                                                ***
            Entah sudah ke berapa matahari terbenam yang ku lalui. Sejak saat itu aku mulai menunggu, menunggu dan terus menunggu sampai Jingga benar-benar datang dari langit yang berwarna jingga. Aku tak pernah bosan untuk terus menunggunya. Aku tak pernah lelah untuk menunggu sang jingga datang. Aku tak sabar untuk melihat wajah cerahnya yang ditimpa sinar matahari sore. Dia akan terlihat lebih tampan dari biasanya. Aku pun tak sabar untuk bernyanyi dan tertawa bersama kembali. Melanjutkan hubungan aku dan dia yang sempat tertunda. Jinggaku yang ku tunggu, entah kapan dia akan kembali, dan entah keberapa jingga yang harus kulalui. Mungkinkah esok, lusa atau seterusnya. Atau mungkin Jinggaku tak akan pernah kembali, terbenam bersama matahari jingga dan tak akan pernah terbit kembali selama-lamanya.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Simple Thing Called Love" by Anna Triana

Judul          : Simple Thing Called Love Penulis       : Anna Triana Penerbit      : Elex Media Komputindo ISBN          : 978 - 602 - 0...